Oleh: Mualim
(Pengajar di MTs. NU Miftahul Falah)
(Pengajar di MTs. NU Miftahul Falah)
“Duhai Tuhanku,
sungguh tulangku telah rapuh,
dan kepalaku telah dipenuhi uban, ….
…. anugerahilah aku seorang anak
dari sisi-Mu.” (Doa Nabi Zakaria a.s)
Syahdan, sudah berpuluh-puluh tahun Nabi Zakaria a.s mengarungi bahtera rumah tangga, merasakan manis getirnya berdakwah membimbing umat, suka dukanya menyampaikan risalah Allah SWT, tetapi belum juga ia dikarunia seorang anak.
Pagi sore, siang malam ia merintih dan bersimpuh di hadapan Yang Maha Kuasa: berdoa memohon dikarunia seorang anak, si buah hati, dambaan jiwa.
Ia tidak putus asa berdoa meski si buah hati belum juga datang menghibur. Hingga Nabi Zakaria a.s memasuki usia lanjut. Sebagaimana kita ketahui orang lanjut usia pandangan matanya sudah mulai kabur, giginya mulai pada gugur, ubannya penuh bertabur, uratnya pada mengendur, dan sebentar lagi akan masuk ke liang kubur.
Meski demikian, Yang Maha Kuasa belum juga memberinya keturunan. Padahal usia Nabi Zakaria sudah mencapai mencapai ratusan tahun, yakni seratus dua puluh tahun. Sedangkan istrinya berusia sembilan puluh tahun. Usia dimana menurut pandangan manusia secara umum sulit untuk melahirkan keturunan.
Oh…. alangkah rindunya Nabi Zakaria akan kehadiran si buah hati penghibur jiwa dan penerus cita-citanya.
Nabi Zakaria tidak putus asa. Ia berharap Yang Kuasa menganugerahkan padanya seorang anak. Iapun terus merintih, mengadu, menangis, mengeluh, memelas, memanggil, dan bersimpuh di hadapan Allah Pengatur alam semesta.
Mari kita simak rintihan Nabi Zakaria a.s yang mengguncang iman dan menggetarkan jiwa: sebuah episode perjuangan yang tidak mengenal lelah ini. Rintihan ini terekam dalam permulaan surat Maryam.
“Duhai Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, duhai Tuhanku,” rintih Nabi Zakaria a.s
“sungguh aku khawatir dengan mawaliku (generasi penerus cita-cita perjuanganku) sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu,” pinta nabi Zakaria a.s
Lantas anak model apa yang dimohon oleh Nabi Zakaria? “(seorang anak) yang akan mewarisi (perjuangan hidup)ku dan mewarisi (perjuangan) dari keluarga Ya’kub; dan jadikanlah dia, duhai Tuhanku, seorang anak yang diridhoi,” kata Nabi Zakaria a.s.
***
Memiliki anak merupakan cita-cita pasangan suami istri. Rasanya cinta kasih suami istri belum sempurna jika belum berhasil melahirkan momongan (anak).
Berlibur bersama keluarga.
Demikian juga, bagi kakek nenek belum puas jika belum menimang-nimang cucu yang lucu plus imut-imut. Hampar rasanya jika rumah sepi dari tangis anak. Rumah tangga tanpa anak laiknya makanan tanpa garam. Demikian kira-kira perasaan kebanyakan orangtua.
Perasaan itu juga kiranya dialami oleh Nabi Zakaria. Karena itu, meski usia sudah lanjut dan bahkan istrinya mandul, beliau tetap sabar berharap Yang Kuasa memberinya seorang anak. Sebagian dari kita mungkin memiliki pengalaman berumah tangga seperti yang dialami Nabi Zakaria a.s.
Keinginan memiliki anak memang bukan sesuatu yang tercela, apalagi dosa. Karena cinta akan anak merupakan tabiat alamiah manusia. “manusia itu cenderung untuk cinta terhadap anak-anak….,” demikian firman Allah Q.S Ali Imran: 14.
Bagi orang tua anak merupakan “mutiara” yang paling indah dan harta yang tidak ternilai. Meski Nabi Zakaria a.s telah berumah tangga puluhan tahun, merasakan suka duka berdakwah, baginya masih ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya; ia masih belum juga dikarunia katurunan.
Kenapa keturunan begitu penting dalam kehidupan (kita) manusia?
Pertama, dengan adanya keturunan berarti keberadaan (eksistensi) kita akan terus berlanjut, meski kita sudah tiada.
Kedua, setiap orang tua memiliki potensi cinta kasih di dalam jiwanya. Seorang perempuan memiliki naluri keibuan. Begitu pula seorang laki-laki memiliki naluri kebapakan. Naluri ini menjadi modal bagi pasangan suami istri untuk mendidik dan mengasuh anak-anak pada waktu mereka memiliki keturunan.
Dengan kehadiran anak, orangtua bisa mewujudkan cinta kasih tersebut dengan cara menyayangi dan mengasuh anak. Karena pada dasarnya menyayangi anak adalah mencintai diri sendiri. Bukankah anak adalah darah daging kita?
Dengan demikian, menyayangi dan mengasuh anak secara psikologis adalah menyehatkan.
Ketiga, anak merupakan tabungan di hari tua. Artinya ketika seseorang sudah mencapai usia senja, dan tidak produktif lagi maka anak menjadi tumpuan hidup. Harapannya, anak bisa menyayangi orangtuanya ketika mereka sudah uzur. Siapa lagi yang akan merawat dan menjaga orang tua yang uzur jika bukan sang anak?
Karena itu, sungguh Maha Bijak Allah SWT berpesan kepada anak berkaitan dengan orangtuanya: “…. dengan kedua orangtua berbaktilah! Adakalanya salah satu keduanya (Bapak/Ibu) sudah uzur, atau kedua-duanya telah uzur, jangan katakan “hus” kepada keduanyanya, jangan pula engkau bentak keduanya, dan berkatalah kepada keduanya dengan lemah lembut.” Q.S 17:23.
Keempat, anak merupakan ladang pahala bagi orang tua. Mengasuh dan menyayangi anak tidak saja menyehatkan secara psikologis, namun juga berniai mulia di sisi Allah SWT.
Anak menjadi ladang pahala bagi orang tua.
“Sesungguhnya hartamu, anak-anakmu adalah cobaan bagimu. Demikian itu ada pahala yang besar di sisi Allah.” Q.S At Thagobun: 15.
Anak adalah karunia sekaligus amanat dari Allah SWT. Jika kita mampu menjaganya dengan baik dan benar, maka pahala dari Allah SWT akan mengalir kepada kita.
Kelima, anak merupakan penerus cita-cita dan perjuangan orangtua. Nabi Zakaria a.s memohon agar ia dikarunia keturunan (anak) dengan tujuan agar perjuangannya tidak berhenti setelah ia meninggal.
Harapan Nabi Zakaria a.s, kelak setelah ia tiada anaknya lah yang akan mewarisi dan melanjutkan perjuangannya. Tidak hanya mewarisi perjuangannya, tetapi juga mewarisi dan melanjutkan perjuangan kakek buyutnya dari para nabi keluarga Nabi Ya’kub a.s. Karena itu, Nabi Zakaria a.s minta anaknya kelak lahir sebagai anak yang diridhoi Allah SWT.
Misi Suci
Hal ini menunjukkan bahwa keinginan memiliki keturunan tidak hanya sebatas persoalan biologis, psikologis, sosiologis (berbanggga-bangga dengan keturunan), namun juga mengemban misi suci kenabian.
Misi suci tersebut adalah agar kelak anak mampu menjadi generasi penerus yang mendakwahkan risalah Allah SWT di muka bumi ini. sehingga kehidupan manusia selalu dalam naungan rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Misi suci inilah yang banyak dilupakan oleh sebagian orangtua.
“Duhai Tuhanku, karunia aku dari sisi-Mu anak yang sholeh,” pinta Zakaria. (Q.S Ali Imron: 38)
Keenam, anak tidak hanya tabungan di hari tua saja, lebih dari itu anak merupakan tabungan di akhirat kelak.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “kala manusia meninggal dunai, putus (berhenti) sudah segala amal (juga pahala amalnya), kecuali (pahala) tiga buah amal: (pertama) shodaqoh jariyah, (kedua) ilmu yang bermanfaat (untuk dirinya sendiri dan juga orang lain), (ketiga) anak yang sholeh yang selalu mengalirkan doa untuk orangtuanya.” (H.R Imam Muslim).
Ya, anak sholeh. Anak sholehlah yang akan menjadi tabungan bagi orangtua, tidak hanya tabungan di dunia : menghibur hati, menenteramkan jiwa, menyejukkan pandangan, tetapi juga menjadi tabungan di akhirat kelak.
Ketika kita sudah mendiami kubur yang sunyi, kita tidak bisa lagi sholat, bersedekah, membaca Al Qur’an, menolong tetangga, makan sate atau opor ayam, menonton sepakbola, membaca WA, menulis status, dan lainnya, maka berhentilah segala amal kita. Lebih dari itu, pahala amal juga ikut berhenti.
Meski demikian, anak sholeh akan membuka pintu pahala yang mengalir kepada kita di alam kubur, manakala doanya menghampiri kita dan kesholehannya menghiasi alam semesta.
Artinya, jika kita telah tiada pahala akan terus mengalir kepada kita berkat kesalehan anak kita. Begitu kesalehan anak kita menyapa manusia di muka bumi, maka di kubur kita akan disapa oleh aliran pahala. Begitu kesalehan anak kita menghibur hati manusia yang sedang gundah dan gelisah, maka akan hilang kegelisahan dan kegundahan kita di alam kubur.
Demikian pula, jika kesalehan anak kita menyirami hati manusia yang sedang dilanda kekeringan, menerangi jiwa yang dilanda kegelapan, maka kubur kita akan menjadi sejuk, kubur kita akan menjadi terang benderang. Apabila, kesalehan anak kita memudahkan manusia yang sedang dilanda kesulitan dan kesempitan maka kubur kita akan menjadi lapang.
Jika kesalehan anak-anak kita menghilangkan rasa lapar dan dahaga sesame manusia, maka di alam kubur kita akan terbebas dari dahaga dan kelaparan. Demikianlah anak yang sholeh menjadi penolong orangtuanya di alam kubur.
Sungguh indah jika anak-anak kita menjadi generasi yang cerdas, sehat, sholeh dan berakhlak mulia.
“Duhai Tuhanku, karuniakan untukku anak yang sholeh,” demikain permohonan Zakaria.
“Duhai Zakaria, aku (Jibril) membawa kabar gembira untukmu, engkau akan memperoleh seorang anak, Yahya namanya ….,” (Q.S Maryam:7). Wallahu A’lam.
0 Komentar