Tak Ada Pencuri atau Memang Masih Rezeki ?

{[["☆","★"]]}


Mengenang kembali pengalaman-pengalaman waktu masih di Skotlandia, ada hal yang membuatku sangat ingin agar sistem di sana juga bisa berlaku di Indonesia. Aku biasanya paling anti membanding-bandingkan antara dua tempat, menyanjung salah satu dan seperti kebanyakan orang, menjadi taqlid untuk mengikuti “negara maju” dengan buta. Tapi kejadian ini membuatku tak bisa tak berpikir seperti itu. 

Suatu hari, jika tidak salah ingat waktu itu adalah hari Kamis, kemungkinan masih dekat dengan musim dingin karena saat pulang kuliah hari sudah sangat gelap, aku, seperti biasa, naik bus nomor 30. Sebagai informasi, aku tinggal di apartemen mahasiswa yang jaraknya lumayan jauh dari kampus, sehingga pulang pergi haruslah naik bus. Selama satu tahun penuh aku hanya mengandalkan bus untuk mobilitas, karena tidak punya kendaraan sendiri sama sekali. Ini sangat mungkin sekali, karena sistem trasnportasi umum disana “dapat diandalkan”.

Bus yang tersedia di Edinburgh banyak sekali, setiap nomor bus memiliki rute tetap sendiri, dengan titik berhenti masing-masing. Biasanya bus akan berhenti setiap tiga ratus hingga  lima ratus meter untuk daerah yang padat penduduk. Dari flat (di Inggris, apartemen atau kos-kosan disebut flat) tempat tinggalku, ada empat opsi bus yang bisa digunakan untuk pergi ke kampus, nomor 3, 30, 33, atau 35. Bagi penumpang dengan tujuan yang selalu sama, pasti sudah hafal setiap bus stop yang dilewati. Diatara rute bus yang biasa aku gunakan, bus 30 adalah yang paling kusukai. Ini karena, meski terlihat memutar, jalur bus 30 memiliki jalur seperti tol pendek yang menawarkan pemandangan luar biasa dan yang paling cepat sampai.

 

Kembali pada hari Kamis. Waktu itu sepertinya aku memiliki jadwal penuh karena aku ingat aku pulang dalam keadaan sangat lelah. Saat melihat bus 30, tentu saja aku langsung naik, tak sabar ingin melihat kasur. Dengan konsentrasi yang masih sedikit tersisa, aku menempelkan kartu bus yang selalu aku kalungkan di kokarde yang aku pakai. Kokarde itu sebenarnya untuk tempat kartu tanda mahasiswa, tapi aku gunakan untuk kartu bus dan kartu visa karena lebih praktis. Di Inggris, semua memang menggunakan kartu, jadi aku sangat jarang sekali memegang uang kertas. Naik bus tinggal tap kartu, belanja tinggal tap kartu, masuk gedung kuliah pun tinggal tap kartu. Pokoknya, kartu-kartu itu harus mudah dijangkau agar tidak ribet. 

Ketika bus berhenti di salah satu bus stop di daerah flat ku, aku ingat sang sopir turun dari kursinya dan mengumumkan sesuatu ke penumpang. Aku yang kelelahan di belakang, tidak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan, atau mungkin juga telingaku sudah tidak punya daya memahami bahasa Inggris yang diucapkan. Bahasa Inggris di dunia nyata, apalagi dengan aksen Skotlandia, tidak sama seperti bahasa Inggris saat tes, sehingga kadang aku sulit memahaminya. Setelah pengumuman dari pak sopir, aku melihat beberapa orang turun dari bus, dan beberapa orang masih duduk di dalam. Aku tidak ikut turun karena bus stop ku masih kurang dua titik lagi. Ah, sebentar lagi akan sampai rumah. 

 

Namun, kesenanganku yang sambil mengantuk itu tiba-tiba hilang saat aku menyadari bus 30 itu tidak berbelok di jalan yang seharusnya. Seharusnya, sebelum Saughton Rose Garden bus belok kiri, namun malam itu justru belok kanan. Oh no. Aku berpikir, sebaiknya aku turun setelah ini. Namun kepanikanku justru bertambah saat aku menyadari bus menaikkan kecepatannya dan tidak ada tanda-tanda berhenti. Aku tahu betul kecepatan rata-rata bus dan perkiraan kapan pemberhentian selanjutnya. Bus ini sangatlah tidak normal. Kemana bus ini pergi? Semakin lama aku semakin panik karena selain jalur biasa, aku tidak mengenal jalan sama sekali. Hari sudah malam dan aku tidak lagi tahu apa yang aku lihat di jendela. 

Dengan panik aku berdiri dan berjalan ke depan. Di depan pintu bus ada beberapa remaja yang berdiri, seperti bersiap untuk turun jika bis berhenti. Aku berdiri saja dibelakang mereka. Di Inggris, kita tidak bisa begitu saja menghentikan bus, karena mereka hanya berhenti di bus stop tertentu. Saat itu aku sudah pasrah. Kalau terlanjur jauh, ya sudah nanti naik bus lagi arah berlawanan. 

Selama berdiri menunggu bus berhenti, aku semakin panik karena aku menyadari aku semakin jauh dari rumah. Mimpi melihat kasur tiba-tiba terasa jauh sekali. Hari sudah malam, tidak tahu arah, lelah, dan takut kedinginan sudah bercampur jadi satu. 

Akhirnya, bus berhenti juga. Aku buru-buru turun bersama para remaja itu. Sudah aku duga. Saat turun dari bus, aku tidak mengenali daerah itu. Dengan panik aku berjalan dari bus stop. Seolah kejadian itu belum cukup buruk, aku kembali meyadari sesuatu. Kartu debit visaku tidak ada di tempat seharusnya. Aku melihat kembali ke belakang dan melihat bus 30 itu sudah pergi menghilang. Oh tidak. Aku tidak tahu waktu itu, seberapa lama aku merasa panik dan tidak bisa berbuat sesuatu. Kartu itu bisa digunakan oleh siapa saja yang memegangnya, karena bisa digunakan untuk membayar dengan tap tanpa perlu pin dan sebagainya. Orang yang menemukannya sama saja seperti menemukan dompet beserta isinya. Semakin pasrah saat aku berpikir, untuk menggantinya aku harus mengirimnya kembali dari Indonesia. Oh, malang sekali malam itu. 

 

Aku lupa, apakah malam itu aku cukup punya kesadaran untuk memblokir kartu dulu atau menemukan cara kembali ke rumah dulu, karena malam hari tanpa rumah adalah hal yang sangat berbahaya, terutama karena dinginnya. Setelah menenangkan diri dan menerima kenyataan, akhirnya aku membuka google maps untuk mencari rute bus mana yang akan membawaku pulang. 

Betapa kagetnya saat aku membuka google maps. Jalan tercepat untuk pulang ternyata bukan naik bus lagi. Melainkan jalan kaki. Aku ternyata turun satu titik lebih jauh dari bus stop yang biasanya. Aku tak mengenalinya karena memang tidak pernah turun di sini. Sudah aku bilang kan, bahwa bus di Edinburgh biasanya berhenti setiap 300-500 meter? Aku hanya tersesat 500 meter!

Saat itulah aku belajar apa itu diverted route. Supir bus hanya memutar dan melewatkan tiga pemberhentian. Itulah alasan mengapa saat memutar bus menggunakan kecepatan yang tinggi. Itulah mengapa supir bus memberikan pengumuman agar penumpang yang seharusnya turun di pemberhentian selanjutnya, disuruh turun sebelum sampai Saughton Rose Garden. Itulah mengapa beberapa orang turun dan beberapa masih di dalam bus. 

Disinilah aku menyadari, betapa pentingnya belajar sistem baru untuk mengenali tempat dimana kita tinggal. Disini aku juga menyadari betapa pentingnya bahasa. Ternyata, saat tidak begitu konsentrasi, aku tidak bisa reflek memahami bahasa Inggris yang diucapkan tidak jelas itu. 

Setelah sampai di rumah dan meminum teh hangat untuk menenangkan diri, aku tidak sepanik sebelumnya. Juga karena berada dalam ruangan yang hangat dan tidak tersesat adalah sesuatu yang sangat, sangat harus disyukuri. Aku kembali memikirkan nasib kartu visa debitku. Apakah masih bisa diselamatkan? Aku telah berhasil memblokirnya, dan sekarang bayangan harus mengajukan cetak ulang dan menunggu kartu harus dikirimkan dari Indonesia membuatku putus asa. Sepertinya aku harus merelakannya. 

Namun, ketenangan memberiku satu perasaan optimis. Jumlah bus di Edinburgh tak terhitung banyaknya. Pun bus 30 saja sudah sangat banyak, bagaimana bisa aku tahu kartu visaku jatuh di bus 30 yang mana? Pun juga tidak jelas apakah akan ada orang yang mengambilnya atau tidak. 

Dengan sedikit harapan tersisa, atau sebenarnya karena ingin coba-coba karena sudah putus asa, aku mencoba browsing. Ternyata di website perusahaan bus Edinburgh itu menyediakan formulir pengajuan kehilangan barang. Dengan iseng aku mengumpulkan formulir itu dengan memberitahukan ciri-ciri barang yang hilang dengan perkiraan jam dan nomor bus. Keesokan harinya, seperti dugaanku, aku mendapat email bahwa mereka tidak memiliki barang yang aku cari. Mungkin belum rezeki. 

Tiba-tiba, entah dua atau tiga hari setelahnya, aku mendapat email baru lagi yang memberitahukan bahwa kartu visaku telah ditemukan, dan aku disuruh membuat perjanjian untuk mengambilnya di salah satu kantor mereka. Aku benar-benar mengambilnya, dengan perasaan tidak percaya saat petugas memberikan kartu kecil berwarna orange itu padaku. Apakah ini nyata? Aku sudah mengikhlaskannya karena memang sepertinya tidak mungkin menemukannya. 

Disinilah, aku pikir bahwa melihat dunia Barat merupakan satu “fitnah” tersendiri. Ketidakpercayaan itu, sedikit banyak membuatku terkagum pada sistem transportasi mereka. Sistem dan teknologi mereka, memang kadang membuat mata terpana dan banyak negara telah mengagungkannya. 

Tentu kejadian kembalinya kartu visaku tak lepas dari takdir Allah, yang dengan rencana-Nya saat itu telah membuat kartu kecil itu kembali padaku. Namun, bagi kasat mata, tak bisa aku tidak melihat peran sistem transportasi yang begitu rapi yang membuat barang-barang hilang lebih mudah ditemukan. Aku jadi bertanya, seberapa sistem bus Edinburgh berperan dalam menemukan barang yang ketinggalan? Jika di Indonesia, mungkin aku tidak akan berani mencoba dan berharap, menganggap kehilangan kartu itu sudah wassalam. Dengan sistem terpusat yang sangat rapi itu, bahkan barang kecil berharga dapat ditemukan. Apakah ini berarti sistem dan kejujuran orang Edinburgh lebih baik? Emmm.. sepertinya tidak juga, karena masih banyak pencuri sepeda yang berkeliaran di kota. 

Disinilah aku mungkin menyadari, titik dimana banyak orang ingin menganut negara maju. Hanya sebatas apa yang dilihat secara kasat mata. Tapi aku menolak untuk menjadikan apa yang aku lihat di dunia Barat sebagai “fitnah”. Aku percaya, apa yang akan menjadi rezeki kita, akan kembali kepada kita melalui hal-hal yang tidak terduga. Bukan karena canggihnya sistem mereka. Mungkin Allah masih menakdirkan agar kartu itu kembali padaku. Namun, apakah salah, jika sebaiknya kita juga belajar dari mereka? Bagaimana membuat transportasi umum yang aman untuk semua?


*) ditulis oleh Salamatun Nafi'ah, M.Sc.,  alumni MA NU Miftahul Falah angkatan 2015, peraih beasiswa S2 di Universitas Edinburgh, Skotlandia




Posting Komentar

0 Komentar