Oleh : Zakiyah Rosyidah_XII A IPA 1
Semburat jingga menawan di ujung pantai. Angin sepoi-sepoi lirih mengibas jilbabku. Ombak bekejar-kejaran lirih membelai kulitku. Lalu kutemukan sosok di ujung sana. Rambutnya terkibas angin, kakinya melangkah dan terus melangkah. Begitu pula diriku yang terus berjalan hingga kita bertemu di tengah-tengah pasir putih yang membisu. Dirimu terus mendekat, hingga sangat dekat dan bibirmu berbisik di telingaku.
"Bangun! "
Ah sungguh malang nasibku, mimpi indah yang terpotong oleh waktu. Aktifitas mulai lagi seperti biasa. Aku melangkahkan kaki untuk tholabul ilmi. Setiap pagi aku berdiri di bibir jalan menunggu sopir datang. Ya, tanpa diundang, dan berhenti hanya dengan mengucap "kiri!" maka dengan sendirinya sopirku akan berhenti.
Langkah demi langkah ku jalani. Hingga sampailah pada bangunan mewah dengan gerbang yang megah. Kala itu pikiranku tiba-tiba tertuju pada sosok yang pernah ku kenal. Ya, dia yang pernah bersama diriku, tertawa, bercanda dan menangis. Dia separuh nafasku.
Aisyah, seorang wanita cantik berhati lembut dan terpolos yang pernah ku kenal. Bahkan ia sampai takut pada lelaki sangking polosnya. Sejenak diriku bernostalgia tentangnya. Saat-saat terindah bersama, saling menunggu, bercerita suka maupun duka. Juga bertukar saran dan banyak lagi tentangnya. Namun itu dulu, sekarang aku bukanlah siapa-siapa untuknya. Aku rindu dirimu yang dulu, Aisyahku.
Sampai suatu ketika daku berkesempatan bertemu denganmu di depan mataku. Kamu terlihat bahagia bersama mereka, Aisyah. Aku senang melihatnya, namun kini aku seperti lalat pengganggu di hidupmu. Kau menjauhiku seakan tak kenal aku. Apakah karena dulu diriku selalu berkomentar tentangmu? Tentang gayamu, cara berpakaianmu yang semakin mengecil, hijabmu yang semakin mundur, serta caramu bersikap kepada lelaki yang semakin dekat. Apakah karena itu? Sehingga dirimu tidak bisa bebas dan hits seperti sekarang ini? Aisyah, asalkan kau tahu, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Hanya itu, tidak lebih.
Waktu terus berjalan bahkan berlari. Aku dan kamu berpisah, menentukan alur cerita yang berbeda. Hanya doa yang dapat ku panjatkan agar engkau selalu di jalan Allah. Aku yakin Allah juga sayang padamu, bahkan mungkin melebihi diriku.
Aku akan selalu menunggumu kembali kepada Aisyah yang dulu. Walau kita berada di tempat yang berbeda. Yah, aku masuk penjara suci, sedang engkau memilih mencari pengalaman yang luas dengan kuliah di London. Aku bersyukur kau bisa menempuh pendidikan yang tinggi. Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali.
Hingga saat itu tiba. Aisyah pulang ke Indonesia. Aku sangat ingin bertemu dengannya setelah sepuluh tahun tak berjumpa. Namun apa daya, aku tak bisa mewujudkannya, karena aku masih masih dalam kurungan suci ini.
Saat aku keluar untuk mencari udara segar, aku seperti melihat sosok yang ku kenal. Ah, namun rasanya tak mungkin jika itu Aisyah. Mana mungkin Aisyah di sini bersama seorang lelaki, apalagi tanpa berhijab.
Prasangkaku terlalu berlebihan, tetapi semakin aku mengabaikannya, semakin hatiku tidak karuan. Aku terus memperhatikannya, hingga sampai pada saat di mana keduanya beradu mulut di pinggir tebing. Aku yang melihat pertengkaran semakin melunjak, memutuskan untuk menghampiri keduanya.
Saat itu pula, wanita seperti Aisyah itu hampir saja terjatuh ke dalam jurang. Untunglah, Allah masih menyayanginya. Kini aku melihatnya dengan jelas, bahwa wanita itu bukan lagi seperti Aisyah, namun memang Aisyah. Ku peluk erat dirinya dengan meneteskan airmata. Sedang lelaki yang bersamanya pergi entah kemana.
"Ya Allah... Aisyah sahabatku, aku merindukanmu, " ucapku padanya.
Aku mengajak Aisyah untuk ikut mondok bersamaku. Namun ia menyela pembicaraanku.
"Aku malu," ucapnya sambil terisak. "Aku seperti sampah yang tak pantas menginjakkan kaki di penjara sucimu. "
"Mengapa, Aisyah? Bukankah selagi jantung masih berdenyut sedang nadi masih berdetak, kita dapat untuk memperbaiki diri? "
Aisyah hanya menangis tak mengucapkan apapun. Bibirnya menutup terkunci. Sedang aku hanya bisa membiarkannya menenangkan diri. Entah apa yang ia alami, aku pun tak mengerti dengan pasti.
Kita bertemu tanpa bercerita satu sama lain. Aku tak pernah mengerti keadaanmu dalam sepuluh tahun terakhir. Dan kini yang kau tunjukkan adalah isak tangis. Entah kesedihan apa yang tak aku mengerti, hingga begitu dalam tangismu menderu.
Hari menjelang malam. Aisyah pamit untuk pulang. Ia menelpon taxi dan saat itu juga, kita berpisah kembali. Allah mempertemukan kita setelah sepuluh tahun tak berjumpa. Dan pertemuan itu hanya dalam kejapan mata. Doaku untukmu, Aisyahku.
Suara azan bergema di atas cakrawala. Segera aku mengambil wudlu tuk menghadap padamu, Rabbi Azza Wa Jalla.
Secercah cahaya yang melintas di jendela pondok menembus ke dalam ruang aula. Di dalamnya terdapat orang ku kagumi, santriwan ndalem.
"Ah jangan berharap, Fit! " gumamku.
"Fit, Fitri! " suara salah seorang temanku.
Aku menoleh pada arah suara. Dan ia memberikan sepucuk surat dari sahabatku, Aisyah.
Dear, My beloved friend
Assalamualaikum
Fitri, ini aku Aisyah sahabat lamamu. Sebelumnya aku minta maaf karena aku tiada pernah bercerita tentang segalanya. Maafkan aku yang sempat memutuskan silaturrahim di antara kita. Maafkan atas sikapku selama ini.
Sebenarnya, laki-laki yang bersamaku kemarin adalah kekasihku. Aku sudah tiga tahun menjalani hubungan yang tak halal ini. Banyak sekali suka dan duka yang ku lalui bersamanya.
Hingga suatu hari, ayahku menjodohkanku dengan anak kerabatnya. Aku bingung harus bagaimana. Ayahku dan dia yang bersamaku tiga tahun lamanya menginginkan yang terbaik untukku. Aku pun tak dapat membantah orang tuaku. Dan akhirnya kami putus tepat saat kau menjumpaiku kemarin.
Fitri, maafkan diriku ini. Aku menyesal tak mendengar nasihatmu. Aku menyesal mengikuti geng mereka yang hanya membuat akhlakku rusak. Fitri, bantu diriku menjadi Aisyahmu. Aisyah yang kau kenal dulu.
Aisyah
Tak terasa, airmata merembes di antara kedua sudut mataku. Sungguh besar kuasaMu wahai dzat yang membolak-balik hati manusia. Telah kau dengar semua doa yang ku panjatkan untuk sahabat yang ku cinta. Hingga kau kembalikan Aisyah dalam rahmatmu. Alhamdulillah. Segala puji bagimu.
"Fitri, " ucap seseorang lirih, menepuk pundakku.
Suara yang tak asing lagi. Aku menoleh ke belakang, dan yah, suara itu memang suara yang ku kenal sepuluh tahun silam. Aku terpaku melihat Aisyah datang dengan balutan baju muslimah dan hijab pula. Sungguh cantik. Ku peluk erat dirinya, begitupun ia yang mengeratkan pelukan ini.
"Aku ingin kembali menjadi Aisyahmu, Fitri. Aku ingin menjadi gadis muslimah sejati. " ucap Aisyah.
0 Komentar