Arti Sebuah Kehidupan

{[["☆","★"]]}

Oleh : Nila Zuliana_XII A IPA 1

Siang ini hujan begitu deras, sederas air mata yang jatuh di kedua pipiku. Entah mengapa hidup semakin melelahkan untuk dijalani. Apakah hidup tak seadil yang ku kira? Begitu bosan telinga ini mendengar ocehan orang tua dengan alasan yang sama. Ya, demi masa depanku. Apa ini sebuah keegoisanku? Yang tak pernah menghiraukan perintah yang menuntutku untuk melakukan ini, itu. Bukannya aku tak patuh, namun dalam pikirku, aku selalu berkata dan berjanji. "Bersabarlah, Ayah, Ibu, aku sedang berusaha menggapai cita-citaku dengan caraku sendiri."

Ku langkahkan kaki ini keluar rumah untuk menenangkan hati dan pikiran. Ketika di pertengahan jalan, aku bertemu dengan Ani. Dia adalah sahabat masa kecilku. Ia menghampiriku lalu bertanya apa yang sedang terjadi padaku. Aku pun menceritakan semuanya.

"Apakah hidup tak seadil yang ku kira? Terkadang aku berpikir, mengapa orang jahat selalu di atas, sedangkan orang baik sering ditindas?" ucapku kepada Ani.

Setelah aku bercerita panjang lebar pada Ani, ia memberi nasihat padaku.
"Bersabarlah! Itu kuncinya. Sabar memang tidak mudah, namun selagi kita masih bisa bersabar, mengapa tidak? Iya, kan? Sabar itu ibarat angin yang merontokkan daun-daun dari pohonnya. Namun daun yang jatuh tak pernah menyalahkan angin. Ketika kita dilahirkan ke dunia, kita menangis, sedangkan orang lain tersenyum. Ketika waktunya kita meninggal nanti, orang di sekitar akan menangis dan pada saat itulah kita tersenyum. Bukankah itu sudah adil?"

"Lihatlah dua anak jalanan itu, kasian mereka. Setiap hari harus mencari kebutuhan hidupnya sendiri. Mereka harus mencari uang sendiri untuk makan dan minum sehari-hari. Mereka tak punya orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Terkadang aku tak tega melihat mereka yang tak seperti anak pada umumnya yang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya dan bisa menghabiskan masa kecilnya untuk bermain dan belajar," ucap Ani yang sedari tadi memperingatkanku untuk selalu bersyukur.

Tak terasa air mataku menetes ketika melihat mereka. Betapa aku lebih beruntung dari mereka. Aku masih punya orang tua yang mencurahkan kasih sayangnya padaku dan memenuhi kebutuhanku.

"Tak bersyukurnya aku, aku masih punya ayah dan ibu yang begitu memperhatikanku, namun aku masih saja menyakiti hati mereka denga keegoisanku," ucapku penuh sesal. "Ani, aku pamit dulu. Terimakasih atas nasihatmu yang sangat berarti."

Setelah berpamitan dengan Ani, aku bergegas pulang. Aku ingin segera sampai rumah. Aku ingin meminta maaf pada ayah dan ibu atas keegoisanku. Aku juga merasa bersalah telah pergi dari rumah tanpa pamit pada mereka.

Sekarang aku paham akan arti kehidupan ini. Mungkin apa yang diinginkan orang tuaku tidak sesuai dengan apa yang ku harapkan, namun orang tua selalu ingin memberi yang terbaik untuk anaknya.

Mungkin ini yang dinamakan arti sebuah kehidupan. Apa gunanya orang berhati baik, kalau tak pernah membuat orang lain bahagia? Kehidupan ialah ketika kita menulis sebuah cerita. Jika tak ada konflik belumlah disebut cerita. Tanpa adanya permasalahan, tak akan ada akhir bahagia.

Posting Komentar

0 Komentar