Perjuangan Kyai Haji Raden Asnawi Kudus

{[["☆","★"]]}

Kyai Haji Raden Asnawi adalah nama yang dipergunakan sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Adapun nama sebelum menunaikan ibadah Haji ialah Raden Ahmad Syams, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama dengan nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di negeri Saudi Arabia di samping nama yang terakhir. Den Ilyas, Den Asnawi (Singkatan dari Raden Ilyas, Raden Asnawi) adalah sebutan nama sehari-hari yang terkenal di kalangan keluarga dan sahabat kenalannya.

KHR. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdallah Husnin seoranng pedagang konpeksi tergolong besar di Kudus pada waktu itu. Sedang ibunya bernama R. Sarbinah. KHR. Asnawi dilahirkan di kampung Damaran  Kota Kudus pada tahun 1281 H ( + 1821), beliau termasuk keturunan dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Sodiq) keturunan yang ke XIV dan keturunan ke V dari kyai Haji Mutamakin seorang wali yang keramat di desa Kajen Margoyoso Kabupaten Pati sebelah utara yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.

Masa Mudanya

Sejak kecil beliau diasuh oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah Berumur 15 tahun beliau diajak orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar dan juga berdagang ; pagi hari berdagang, sore dan malam hari mengaji di pondok pesantren Mangunsari Tulungagung .

Setelah berjalan beberapa saat, ternyata hatinya tidak tertarik untuk menjadi seorang pedagang, tetapi beliau sangat tertarik menjadi orang yang pandai dan faham tentang ilmu agama. Hal ini diketahui oleh orang tuanya dalam pergaulannya dengan teman-temannya yang selalu suka ke Langgar, Pondok Pesantren dan masjid, tidur pun lebih suka di pondok pesantren dengan kawan-kawannya dari pada di rumah orang tuanya sendiri di Tulungagung.

Melihat yang demikian itu, maka orang tuannya memerintahkan agar beliau mondok saja untuk mengaji dan memperdalam ilmu agama Islam. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya sendiri, kemudian beliau mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan KH. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekkah beliau berguru antara lain dengan KH. Saleh Darat Semarang, KH. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.

Menunaikan Ibadah Haji

Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mengajar dan melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum'ah Pahing sesudah shalat Jumat beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh.

Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adiknya, H. Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Mukim di Tanah Suci

KH. R. Asnawi semula tinggal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempatdi kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R.Maskub Kudus.

Selama bermukim di tanah suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo.

Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan.

Huru-Hara Kudus

Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Semaun, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang diberi nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Pada waktu malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya.

Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan masjid menara. Oleh ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pimpinan golongan Cina (Letnan Cina) agar tidak menjalankan pawainya di jalan muka masjid menara, mengigat banyak santri yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari.

Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian Haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian menggambarkan sebagai wanita nakal. Orang awam menamakan CENGGE.

Pawai Cina yang datang dari muka masjid menara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang berkeja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan gerobak dorong (songkro). Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina.

Dengan adanya pemukulan yang dilakukan oleh orang-orang Cina terhadap santri, ditambah adanya CENGGE yang menusuk perasaan umat Islam dan para ulama, maka terjadilah pertikaian antara peserta pawai orang-orang Cina dengan Orang-orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu.

Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun pihak orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai bahkan masih sering melontarkan ejekan-ejekan terhadap santri tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari kaligelis sampai ke masjid menara kudus.

Karena itulah maka para santri terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para Ulama memandang cukup beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan dengan mengadakan tindakan pengrusakan rumah dan barang-barang hak milik orang-orang Cina . Sekali-kali tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina.

Memang ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina. Lalu jatuhlah lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran rumah-rumah baik milik orang Cina maupun orang jawa. Dengan dalih mengadakan kerusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjajah. Beliau KHR Asnawi yang dituduh sebagai  salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun, mula-mula dipenjara di Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH Ahmad Kamal Damaran , KH Nurhadi dan KH Mufid Sunggingan dan lain-lain.

Keluar dari Penjara

Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda'wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih.

Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wa al Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian juga dengan mengadakan pengajian yang diikuti oleh jama'ah dari daerah Demak, Jepara, dan Kudus.

Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis taklim yang disebut "Patbelasan", ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Disamping itu, pada setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau juga menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Kegiatan tersebut bersamaan dengan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya, yaitu KH. Minan Zuhri.

Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus di Pondok Pesantren juga mengadakan wiridan, antara lain: Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama'ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam.

Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus.

Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau beliau menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).

Perjuangan

Sejak mudanya  beliau memang sering berjuang, dimulai dari kegiatannya mengajarkan ilmu agama Islam, kemudian beliau memegang  amanat sebagai seorang Komisaris Sarikat Islam di Mekah Saudi Arabia. Sesudah kembali di kudus  dari mekah pada tahun 1916 M beliau bergabung dengan kawan-kawannya  dalam gerakan Sarikat Islam. Tugas yang diamalkan ialah melaksanakan tabligh dan nasehat keagamaan terutama dalam bidang tauhid dan fiqih, di samping itu ikut aktif dalam usaha pendirian Madrasah Qudsiyah, pembangunan masjid Agung Menara sehingga terjadi peristiwa huru-hara Kudus.

Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah adanya benteng Aqidah Ahlussunah Waljamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KHA Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga akhir hayat ditaati dan didukung Nahdlatul Ulama.

Pada jaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan  jiwa kenasionalan terhadap umat Islam, baik dari kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas Kempetai di Pati. Sesudah semalam berada dalam tahanan di markas, paginya dipanggil oleh Komandan Dai Nippon dengan keadaan badan terbuak dari pakaian kecuali sarung. Anehnya tidak ditanya tentang senjata tetapi ditanya beberapa jumlah istri dan anak serta cucunya. Sesudahnya beliau disuruh pulang ke Kudus, aman.

Pada zaman awal revolusi kemerdekaan terutama pada masa menjelang agresi ke I beliau mengadakan gerakan ruhani dengan membaca Shalawat Nariyah dan doa surat Al Fiil. Tidak sedikit para pemuda-pemuda kita yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata sama datang untuk minta bekal ruhaniyah kepada beliau sebelum berangkat ke medan pertahanan di Genuk, Alastuwo dan lain-lain.

Oleh Bupati Kudus Bapak Subarkah pernah beliau diminta untuk menempati pendopo Kabupaten sebagai tempat pengajian umum yang masih berjalan sampai sekarang ini ialah SANGANAN di Masjid Jami’ Kauman Wetan Kudus dan PITULASAN di Masjid Agung Menara Kudus. Pondok Pesantrennya masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.

Keluarga Almarhum

Sesudah pergi Haji yang pertama beliau kawin dengan puteri KH. Abdullah Faqih Langgardalem Kudus bernama Mudasih dan dianugerahi dua orang putera :
1.    HM Zaini mempunyai 5 orang anak.
2.    Mas’ari mempunyai 2 orang anak.
Pada waktu bermukim di Mekkah beliau menikah dengan Nyai Hajjah Hamdanah (janda almarhum Syekh Nawawi Banten) dan dianugerahi tiga orang anak :
1.    HM Zuhri mempunyai 5 orang anak .
2.    H. Azizah (isteri KH Saleh Tayu) mempunyai 5 orang anak.
3.    Alawiyah, mempunyai 6 orang anak.
Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916 M beliau dikawinkan dengan anak keponakan Khatib Khair di Kudus bernama Subandiyah tetapi tidak dianugerahi anak hingga wafat. Sesudah itu kemudian kawin dengan ibu Munjiah Damaran tidak mempunyai anak. Sewaktu beliau wafat meninggalkan 3 orang isteri, 5 orang anak, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).

Pulang Ke Rahmatullah

Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar KHR Asnawi Seorang Ulama besar dan salah seorang pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama’, telah dipanggil pulang ke Rahamtullah dalam usia 98 tahun.

Sejak tanggal 12-18 Desember 1959 beliau ada di tengah-tengah tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin, pejuang-pejuang NU yang sedang berkumpul di ibu kota untuk bermu’tamar yang ke-22. Selama mu’tamar NU itu berlangsung beliau bermalam di rumah Bapak H. Zen Muhammad  adik KH Mustain di Jl. H. Agus Salim Jakarta. KH Mustain adalah satu-satunya yang menjemput dan mengantar beliau dari dan ke Medan mu’tamar, sewaktu beliau dijemput untuk menghadiri malam resepsi mu’tamar yang akan dihadiri oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia, KH Mustain menerima ucapan beliau : Hai Mustain ! Inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam mu’tamar NU mengingat keadaanku dan kekuatan badanku. Segera disusul jawaban KH Mustain : Kyai ! Kalau  toh Kyai tidak dapat hadir dalam mu’tamar maka sangat kami harapkan doanya.

Kemungkinan besar KHR. Asnawi telah mengetahui akan tanda-tanda panggilan Allah untuk memanggil dirinya. Pukul 02.30 WIB Sabtu itu KHR Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi beliau dengan didampingi istrinya Hamdanah kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan kalimat syahadat adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya. Waktu itu juga 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379 H sekitar pukul 03.00 fajar, KHR Asnawi pulang ke rahmatullah. (dari berbagai sumber).

M. Taufiqus Sholah_XI F IPS 3

Posting Komentar

0 Komentar