2019, Rakyat Jangan Mau Rugi

{[["☆","★"]]}

Pilkada serentak sudah selesai. Rakyat sudah berhasil memilih pemimpin mereka di daerah. Selanjutnya, pada 17 April 2019 mendatang, rakyat akan memilih pemimpin mereka dalam lima tahun ke depan di tingkat nasional. Tentu rakyat harus benar-benar cerdas dan cermat dalam menentukan siapa Presiden dan Wakil Presdien yang akan mereka pilih. Kalau salah pilih, maka rakyat sendiri yang merugi.

Rektor Universitas Muria Kudus, Suparnyo, mengatakan kerugian terbesar rakyat adalah tidak memilih atau golongan putih (golput). Menurutnya rakyat harus memanfaatkan pesta demokrasi ini untuk menentukan pilihannya. Sekalipun tidak diwajibkan dalam undang-undang, rakyat tetap harus ikut ambil bagian untuk datang ke TPS (tempat pemungutan suara) dan memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon legislatif.

“Kalau kesempatan itu tidak dimanfaatkan, ya rugi. Rakyat akan menyesal kalau ternyata yang terpilih adalah pemimpin yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat,” tuturnya saat ditemui Tim Redaksi El-Miffa di kantornya, Selasa (06/11/18).

Suparnyo menambahkan, pilihan rakyat adalah legitimasi utama yang menentukan keberhasilan jalannya kepemimpinan di sebuah Negara. Tanpa legitimasi itu kinerja pemimpin tidak akan bisa efektif. “Kalau Presiden tidak mendapatkan legitimasi rakyat kerjanya akan sulit.  Sebab tanpa legitimasi akan sering terjadi perlawanan dari rakyat seperti demo. Meskipun hal itu bisa diatasi, tetapi pemimpin sekiranya mendapatkan legitimasi dari rakyat,” jelasnya.

Di negara demokrasi seperti Indonesia, rakyat memiliki kekuasaan penuh untuk menyampaikan aspirasinya. Untuk itu dibutuhkan sinergi yang baik antara Presiden dan rakyatnya. Presiden tidak akan ada jika tidak ada rakyat. Begitu juga sebaliknya, kalau rakyat tidak ada yang memimpin, maka rakyat akan menjadi kacau. Jadi kedua-duanya saling membutuhkan.

“Bisa diibaratkan seperti kapal jika tidak ada nahkodanya maka kapal tersebut akan kacau jalannya. Baru rumah tangga saja butuh pemimpin, apalagi Negara. Di sini lah titik pentingnya bagi kita untuk memilih pemimpin,” tandas Pak Parnyo, sapaan akrab Suparnyo.

Jika legitimasi itu sudah ada, kata Suparnyo, maka Presiden harus bertanggung jawab. Yaitu dengan melaksanakan janji-janji kampanyenya. Presiden harus mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, dan sejahtera. Rakyat merindukan kesejahteraan dan juga keadilan. Dan pemimpin harus mampu mewujudkan harapan rakyat itu secara merata.

“Jangan sampai pemimpin hanya memperhatikan orang kaya dan mengesampingkan rakyat jelata,” katanya.

Wasilah Aspirasi

Hal senada turut diungkapkan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Kudus, Kasmi’an. Menurutnya dalam UU NO.7 tahun 2017 warga negara yang tidak menggunakan hak pilihmya tidak mendapatkan sanksi secara hukum. Melainkan konsekuensi logis bagi mereka yang tidak menggunkan hak pilihnya adalah tidak ikut mewarnai proses tata kelola pemerintahan ke depan.

“Jadi penggunaan hak pilih itu sebagai sarana, wasilah, atau perantara untuk meneruskan aspirasi rakyat. Kalau menginginkan perubahan harus menggunakan hak pilih agar bisa turut mewarnai gagasan perubahan tatanan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat,” jelas Alumni MA NU Miftahul Falah Cendono ini.

Dulu, sebelum amandemen UUD 1945, imbuh Kasmi’an, rakyat Indonesia tidak pernah memilih pemimpinnya secara langsung. Dalam pemilu yang diselenggarakan 5 tahun sekali, rakyat hanya memilih partai politik. Selanjutnya partai politiklah yang mendelegasikan kadernya untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sesuai dengan jumlah suara yang didapatnya. Kemudian MPR lah yang memilih Presiden dan Wakil Presiden.

“Dalam praktik demikian Presiden adalah mandataris MPR (memperoleh mandat dari MPR), bukan mandataris rakyat. Jadi untuk menentukan pemimpinnya, rakyat ibarat memilih kucing dalam karung,” paparnya.

Baru di era Reformasi, pemilu 2004 rakyat Indonesia bisa memilih pemimpinnya secara langsung, baik pemerintah eksekutif (Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati) maupun pemerintah legislatif (DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II). Rakyat menjadi tahu siapa sosok calon pemimpinnya. Keterbukaan ini kemudian memunculkan adanya pengakuan kepemimpinan dari rakyat.

“Itu yang dibutuhkan pemimpin. Dengan pengakuan itu berarti rakyat akan memberikan sebuah kepercayaan bahwa kepemimpinan ini adalah murni aspirasi rakyat. Progam-progam kerja yang di munculkan oleh pemimpin pun akan didukung oleh rakyat. Itu baiknya Negara demokrasi. Tidak seperti kerajaan yang  kekuasaannya bisa terus menerus berjalan tidak peduli rakyat percaya atau tidak,” jelasnya. 

Sementara itu, dosen dan peneliti di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Mohammad Rosyid menjelaskan, implikasi atau dampak luasnya bisa sangat panjang apabila seseorang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam ajaran Islam, memilih seorang pemimpin adalah tradisi dalam meneruskan misi profetik dan kenabian. Dengan menggunakan hak pilih, berarti umat muslim bisa menentukan nasib bangsa ke arah yang lebih baik.

“Untuk itu kita jangan mau rugi dengan tidak mau ikut memilih. Baik presiden dan wakil presiden maupun anggota legislative. Bahkan tidak hanya kita yang rugi, tapi juga bangsa Indonesia,” tambah Rosyid.[]

Dwi Novi Islahun Nisa’_XI A IPA 1,
Izzatan Nayyiroh_XI A IPA 1,
 Min Amrina Yusro_ X A IPA 1

Posting Komentar

0 Komentar