Memilih Pimpinan, Merajut Keindonesiaan

{[["☆","★"]]}

17 April 2019 mendatang adalah hari yang menentukan bagi Indonesia lima tahun ke depan. Ya, lebih dari 250 juta penduduk Indonesia diberi kesempatan untuk memilih sosok pemimpin yang dipercaya bisa membawa kemajuan negara, melaksanakan konstitusi sebaik-baiknya dan membuat seluruh rakyat bahagia.

Ada dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Pada nomor urut 01 ada H. Joko Widodo (capres) berpasangan dengan KH. Ma’ruf Amin (cawapres). Sedangkan pada nomor urut 02 ada H. Prabowo Subiyanto (capres) berpasangan dengan Sandiaga Salahudin Uno (cawapres).

Kampanye terbuka sudah dimulai sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019 mendatang. Banyak program diusung oleh masing-masing capres dan cawapres. Pada kubu Joko Widodo – Ma’ruf Amin menawarkan lima program unggulan. Diantaranya ialah pembangunan manusia dalam mengurangi kemiskinan; mengurangi kesenjangan antar-wilayah; meningkatkan nilai tambah ekonomi; pemantapan ketahanan energi, pangan dan sumberdaya air; serta sukses pemilu (Kompas.com, 23/09/18)

Sedangkan pada kubu Prabowo Subiyanto-Sandiaga Salahudin Uno menawarkan fokus program pemberdayaan sosial meliputi pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Dalam hal ekonomi dan infrastruktur Prabowo-Sandiaga akan memberikan akses dan permodalan pada UMKM serta kontrak pembangunan pada perusahaan kontruksi lokal (Tribunnews.com, 09/10/18).

Masing-masing kandidat presiden dan wakil president juga telah berkeliling ke berbagai penjuru Nusantara. Lokasi yang dituju pun beragam, seperti pasar, pondok pesantren, masjid, hingga blusukan ke perkampungan. Di mana ada pusat kegiatan masyarakat di situ lah lokasi tujuan para kandidat untuk berkampanye mengenai program dan keberpihakan.

Bila semua pihak dan mesin politik telah bergerak sedemikian rupa, maka sudah semestinya bagi publik untuk merespons dengan menentukan pilihan sosok pemimpinnya dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Yang pasti pemilu harus dilihat sebagai jembatan penghantar dan bukan sekadar tujuan kekuasaan.

Pemilu yang dimaknai sebagai jembatan akan menghasilkan tata sosial yang tentram, damai dan guyub rukun meski beda pandangan pilihan. Masing-masing pendukung paslon capres-cawapres akan sama-sama melewati jembatan itu untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Publik juga harus ingat bahwa kepemimpinan bukan bertujuan untuk memecah belah antar sesama bangsa. Hakekat kepemimpinan adalah kesatuan visi dan misi untuk saling sepakat dan mengayomi siapa saja manusia yang hidup di negeri ini. Kata Gus Dur, yang lebih penting dari urusan politik adalah kemanusiaan. Untuk itu, Habib Luthfi selalu berpesan agar publik bisa menciptakan 2019 sebagai tahun damai dan bukan perpecahan.

Posting Komentar

0 Komentar