Politik, Perempuan dan Generasi #Tagar

{[["☆","★"]]}
Oleh : Muhammad Farid

Pemiilihan kongres Amerika baru saja mencetak sejarah baru. Sebanyak 20% anggota senatnya berasal dari kaum perempuan. Lebih hebatnya lagi sebagian daripadanya adalah keturunan imigran muslim yang sempat dikutuk oleh Presiden Donald Trump beberapa waktu lalu. Keberhasilan mereka ditengarai sebab adanya gerakan tagar #MeToo yang viral menyuarakan kesetaraan hak antar warga tanpa diskriminasi (Kompas, 11/18).

Publik Amerika merasa diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan masih banyak sehingga penting untuk mengangkat anggota senat dari golongan mereka. Tentu saja bertujuan agar persoalan mengenai perempuan tidak dipandang sebelah mata dengan melemahkan kedudukannya sebagai warga Negara. Supaya perempuan tidak lagi dipaksa menjadi layaknya minoritas yang haknya dirampas oleh laki-laki.

Ya, hampir di belahan dunia mana pun, perempuan adalah makhluk mayoritas yang dipaksa menjadi minoritas karena pemahaman yang salah. Jumlah mereka yang besar dengan mudah dikalahkan dengan legitimasi kepemimpinan dan kebijakan yang mayoritas kuasanya dipegang oleh kaum laki-laki. Sepertinya ini terjadi lebih karena anggapan yang melekat pada mayoritas masyarakat dalam memandang perempuan. Tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga televisi, internet dan sampul-sampul buku dan majalah.

Identitas visual yang disandang oleh perempuan, utamanya muslim masih didasarkan pada stereotip anonimitas dan ketertindasan. Perempuan masih sering digambarkan sebagai sosok mellow dengan berbagai rentetan peristiwa tabu yang menyelimutinya. Anggapan seperti itu mulai surut ketika untuk pertama kalinya Shelina Janmohammed  mengeluarkan buku Love in a Headscarf (2015). Muslimah asal Inggris itu berhasil menulis sebuah pandangan lain mengenai perempuan (muslim). Bahwa perempuan adalah sosok yang juga memiliki identitas tegas, tangguh dan berkarakter dengan semangat hidup dan kepercayaan yang kokoh.
*Islam dan Internet*

Islam sendiri memandang perempuan sebagai makhluk yang dimuliakan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara etika, nilai dan norma Islam sangat rinci memahami wanita. Dalam hal ubudiyah Islam memberikan aturan yang ringan dan mudah bagi perempuan. Hal ini terlihat dalam ketentuan puasa, salat bahkan juga ibadah lainnya. Dalam keadaaan susah/payah perempuan memiliki hak untuk tidak melaksanakan ibadah lebih banyak daripada laki-laki. Perspektif pemuliaan perempuan dalam Islam juga tampak pada kisah-kisah heroik dan inspiratif. Al-Qur’an sendiri mengabadikan banyak sekali moment tentang perempuan yang beberapa diantaranya terdapat dalam surah an-Nisa’ dan Maryam.

Pandangan seperti itu lah yang ingin disebarkan kepada publik di seluruh dunia mengenai perempuan. Shelina Janmohammed (2017) membuka wacana bahwa generasi muda muslim memiliki cara unik untuk mengampanyekan hal itu. Mereka yang sudah lelah tertindas dan diabaikan oleh kelompok mayoritas menggunakan internet sebagai jalan dakwah. Jutaan tagar (#) dibuat dengan pesan-pesan yang anti mainstream dan menarik. Semangat mereka satu : menghapus diskriminasi hak.

Asmaa Mahfouz, seorang warga Mesir menyebarkan video blog (vlog) di media sosial yang isinya mendorong orang untuk ikut berdemonstrasi di Tahrir Square. Asmaa mengutip Firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du : 11 dan mengajak semua warganet untuk menolak korupsi dan rezim saat itu. Dorongan untuk menjadikan lingkungan sekitarnya lebih baik pada semua aspek didasari oleh iman, ilmu dan modernitas. Internet membantu penyebaran pesan itu dengan sangat mudah.

Ada juga Zaufishan Iqbal, seorang perempuan muslim asal Inggris yang menjalankan situs web The Eco Muslim. Melalui situs itu Zaufishan memproduksi kata-kata yang mendorong seorang muslim untuk melakukan eco-jihad. Yaitu sebuah usaha untuk melestarikan yang alami di sekitar kita dan menghargai sumber daya bumi dari mana pun asalnya. Zaufishan ingin agar seorang muslim harus menjadi pionir dalam pelestarian alam. Menurutnya, muslim visioner adalah pribadi yang taat lebih dari sekadar menerapkan gaya hidup islami dan mengkonsumsi makanan halal (Shelina Janmohammed : 2017, 309).

Dua contoh di atas menjadi gambaran bahwa Islam, iman dan modernitas bisa berjalan beriringan. Akan tetapi kunci utama sebenarnya terletak pada keimanan seseorang. Sebuah sistem dan upaya baik akan terwujud manakala iman bisa diberlakukan sebagai peredam nafsu. Ini point yang sulit bagi semua orang di dunia, utamanya di Indonesia.
*Wajah Indonesia*

Ada dua nafsu besar yang tengah melanda sebagian orang di Indonesia saat ini. Pertama, nafsu ekonomi yang ditandai dengan melonjaknya konsumerisme dan materialisme warga Negara. Orientasi kehidupan bergeser lebih dari sekadar hidup aman dan nyaman, tetapi juga kaya raya dan asset yang tak terhitung jumlahnya. Kedua, nafsu politik yang ditandai dengan banyaknya pihak yang saling menjatuhkan, baik lawan maupun kawan. Orientasi hidupnya tertuju hanya pada kekuasaan dengan melanggengkan ujaran kebencian dan menyulut api perpecahan.

Yang lebih disayangkan perempuan masih hanya diberlakukan sebagai komoditas yang bisa dijual dan dibeli dengan janji. Kesetaraan dan kesejahteraan masih sebatas angan yang belum sepenuhnya terimplementasi pada kebijakan. Meski beberapa telah masuk dalam undang-undang, praktiknya bisa dibalik menjadi pelanggaran dan penindasan.

Di Indonesia pula, agama mulai jadi barang jualan yang melegitimasi orang-orang yang haus kekuasaan. Internet dipergunakan sebagai sarang tagar (#) yang melancarkan benih-benih kepanikan, kekacauan dan kedzaliman. Iman yang seharusnya mampu jadi peredam emosi justru jadi dalih untuk mencipta friksi. Kapan kita akan kompak untuk berbenah diri?

*) Muhammad Farid, staf redaksi di Suara Nahdliyin dan Suaranahdliyin.com. alumni MA NU Miftahul Falah.

Posting Komentar

0 Komentar