Berlomba-lomba Menjadi Pemimpin

{[["☆","★"]]}

Pesta demokrasi sudah dimulai. Para kandidat presiden dan wakil presiden serta calon-calon legislator mulai mengeluarkan berbagai jurus untuk merebut simpati rakyat. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin rakyat.    

Sejak pemilu langsung dilaksanakan tahun 2004, jabatan-jabatan politik seperti presiden, DPR RI, DPD, DPRD, gubernur, bupati, dan walikota terasa diperebutkan. Memperebutkan jabatan politik seperti itu menurut Rektor UMK Kudus, Suparnyo, adalah hal yang wajar-wajar saja dalam kehidupan berdemokrasi. Yang penting semuanya dilakukan sesuai dengan konstitusi yang ada.

“Bisa saja satu sisi menginginkan kekuasaan atau bisa saja motifasinya itu untuk memperbaiki negara ini. Semua tergantung niat awal  seorang calon pemimpin tersebut,” kata Suparnyo.

Pada dasarnya setiap warga negara memiliki hak politik yang sama yaitu memilih dan juga dipilih. Artinya setiap warga negara mempunyai kesempatakan menjadi kontestan dalam pemilu yang diselenggarakan 5 tahun sekali untuk akhirnya menjadi pemimpin di Republik ini.  

Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Ketentuan mengenai ini, diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945.

Perumusan sejumlah pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskirminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Ketentuan UUD 1945 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia.

Sementara hak dipilih secara tersurat diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khusunya dalam keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam event pesta demokrasi yang meliputi Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada. 

Oleh karena itu, secara konstitusi sah-sah saja seseorang atau kelompok masyarakat berlomba-lomba menjadi pemimpin di negeri ini. Itu menjadi hak politik yang sudah diatur oleh UUD 1945. Dengan menjadi pemimpin mereka bisa mewujudkan harapan, cita-cita, bahkan kepentingan pribadi maupun golongannya. 

“Tentu saja  masing-masing mereka mempunyai kepentingan yang tidak kita ketahui secara persis. Misalnya kepentingan kelompok pengusung, pendukung, bisa jadi juga kepentinga pribadi. Tetapi, yang paling kelihatan adalah kepentingan kelompok. Jika nanti menang, kelompok tersebut akan ikut berkuasa,” jelas Suparnyo.

Menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kab. Kudus, Kasmi’an, setiap calon mempunyai kepentingan. Kepentingan itulah yang ingin diwujudkan seandainya nanti menang dalam pemilu. “Setiap calon mempunyai visi misi. Kalau tidak mempunyai visi misi, maka seandainya dia jadi nanti pola pemerintahannya tidak terarah. Visi misi itu sebuah pintu awal,” tuturnya.

Sementara menurut Muh. Rosyid, dosen IAIN Kudus, kepentingan tidak hadir dari ruang yang hampa. Kepentingan calon bisa dilihat menggunakan standar cara berfikirnya, partai-partai pengusungnya dan juga komunitasnya. Bisa berupa kepentingan materi juga bisa kepentingan ideologi.

“Kepentingan materi contohnya ingin memenuhi kebutuhan rakyat yang bersifat material. Misalnya penyediaan sembako layak, harga terjangkau, dan lain-lain. Kepentingan ideology, misalnya ideologi yang dianutnya ingin lestari. Contoh, beberapa partai bersatu membentuk satu kepentingan ideologi apakah itu ideologi nasionalisme ataukah ideologi agama,” jelas Muh. Rosyid.

Memikat hati rakyat

Secara praktis tujuan pemilu bagi setiap calon adalah menjadi pemenang. Oleh karena itu ia harus memperoleh suara rakyat sebanyak-banyaknya mengungguli kontestan lainnya. Menurut Kasmi’an, hal-hal yang harus dilakukan para kontestan diantaranya adalah melakukan pendekatan kepada rakyat secara maksimal.

Selain itu, seorang kandidat harus mengerti apa yang dirasakan dan dibutuhkan rakyat. Juga harus bisa memahamkan visi misinya kepada masyarakat pemilih. “Kalau tidak bisa melakukan itu semua jangan harap seorang pemimpin akan terpilih,” tuturnya.

Di antara tahapan-tahapan pemilu, mestinya kampanye menjadi tahapan penting bagi rakyat. Melalui kampanye para calon presiden serta wakil presiden serta calon anggota legislatif memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukan jika kelak dirinya terpilih. Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak.

Menurut Muh. Rosyid, dalam kampanye para calon pemimpin sering mengeluarkan janji-janji (visi misi) dalam rangka menarik simpati rakyat. Biasanya janji-janji itu menjadi rujukan masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya. Namun sayangnya, janji-janji itu sering diabaikan setelah mereka menjadi pemimpin.

“Selama ini, para kandidat biasanya berprilaku baik dan bijaksana selama kampanye. Namun ketika sudah menjadi pemimpin sikap itu sering hilang. Mereka lupa bahwa pemimpin itu harus bijaksana. Yaitu berlaku adil dan mesejahterakan rakyat,” imbuh Rosyid.

Kasmi’an menjelaskan, dalam kampanye setiap calon mestinya mempunyai program-program nyata yang ditawarkan kepada masyarakat pemilih. Dengan memaparkan program kerja maka rakyat mempunyai informasi dan harapan untuk menyelesaikan problem-problem yang dialami bangsa ini.

“Dengan visi misi dan tawaran program yang jelas, kinerja seorang pemimpin akan lebih terukur keberhasilannya. Di sinilah rakyat nantinya bisa melihat seorang pemimpin itu berhasil atau tidak. Kalau ia tidak bisa mewujudkan visi misi dan program-programnya, maka ia bisa dianggap gagal,” kata Kasmi’an.

Model-model kampanye

Naily Syarifah, ketua KPU Kabupaten Kudus menjelaskan, kampanye bisa dilakukan dengan dua cara yaitu kampanye tertutup dan kampanye terbuka. Kampanye tertutup sudah dimulai sejak 23 September 2018. Sementara kampanye terbuka baru akan dimulai 24 Maret 2019 sampai 14 April 2019.

“Kampanye tertutup bisa dilakukan melalui cara dialog atau bertemu tatap muka dengan konstituen. Sementara kampanye terbuka dilakukan dengan mengumpulkan massa banyak di tempat terbuka seperti lapangan,” jelas Naily.

Menurutnya, kampanye itu kegiatan yang bertujuan untuk mengajak masyarakat selama masa kampanye. Masa kampanye sudah dijadwalkan oleh KPU. Maka kampanye yang dilakukan di luar masa kampanye, menurut Laily itu bukan kampanye.

Selain itu, para kontestan pemilu harus melakukan kampanye yang baik sebagaimana yang sudah diatur oleh KPU. Kampanye yang baik adalah kampanye dengan cara menyampaikan visi misi dan program-programnya kepada calon konstituen atau pemilih dengan harapan para konstituen mau memilih mereka. Menurut Naily, para kontestan pemilu yang melanggar aturan kampanye akan berhadapan dengan Bawaslu (badan pengawas pemilu). “Masalah pelanggaran pemilu itu menjadi ranahnya Bawaslu,” tuturnya.

Menurut Kasmi’an, Bawaslu Kabupaten Kudus, ada tiga macam kampanye. Ada yang diperbolehkan dan ada kampanye yang dilarang. Kampanye yang diperbolehkan adalah kampanye positif (positive campaign), yaitu dengan menyampaikan hal positif dari dirinya atau partainya. Para kandidat bisa menjual program-program maupun janji-janinya.

“Kampanye ini yang biasa dilakukan. Yaitu kampanye yang menyampaikan visi misi dan programnya yang berkaitan dengan problem masyarakat, bangsa, dan negara. Contohnya tentang mengurangi kemiskinan, kebodohan, pengangguran. Kampanye positif berdasarkan fakta dan kemampuan. Inilah kampanye yang ideal,” tuturnya.

Kedua adalah kampanye negative (negative campaign). Yaitu kampanye dengan menyampaikan hal-hal negative yang factual dari lawan-lawannya. Kampanye negative ini berdasarkan data dan fakta yang sebenarnya. Tidak melakukan fitnah kepada lawan politik. Kampanye model ini menurut Kasmi’an bisa memicu kebencian antar calon dan para pendukung calon. Oleh karena itu mestinya kampanye negative ini jangan dilakukan.

Ketiga, kampanye hitam (black campaign). Yaitu sebuah upaya untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang, dengan mengeluarkan propaganda negative. “Kampanye hitam itu berdasarkan hoax dan berisi fitnah. Masyarakat harus menghindari kampanye ini. Kampanye hitam itu seperti menjelekkan lawan dengan tanpa data dan fakta, membuat berita-berita bohong, atau yang menyangkut ras, etnis, agama, dan golongan,” jelas Kasmi’an.

Menurutnya, rakyat harus menghindari atau menolak bila ada kampanye hitam. Karena kampanye hitam sama dengan fitnah dan bisa memecah belah bangsa. “Masyarakat harus cerdas memilah mana yang kampanye hitam mana yang kampanye positif. Dan kalau kegiatan tersebut dilakukan jangan harap calon tersebut jadi, kalau emang jadi berkahnya kurang,” tutur Kasmi’an.

Di musim kampanye seperti sekarang ini—terutama sejak pemilu 2014—memang banyak sekali beredar berita-berita hoax dan fitnah untuk membunuh karakter lawan politik.. Menurut Moh. Rosyid, berita hoaxs sengaja diproduksi untuk menjatuhkan lawan politik. Hoax adalah berita yang tidak benar, kebohongan, memutarbalikkan fakta, tidak melalui klarifikasi terhadap pihak yang bersangkutan.

“Masyarakat dituntut harus cerdas untuk membedakan antara fitnah dan fakta. Yang menentukan adalah rakyat, jadi cerdas-cerdas lah rakyat memilah itu berita fakta atau hoax” kata Rosyid.

Ia menambahkan, dalam konteks pemilu, hoax, fitnah, kampanye negative, kampanye hitam merupakan tindakan mencederai demokrasi. “Sekali lagi berhenti melakukan itu semua. Mari wujudkan pemilu yang bermartabat,” pesannya.
Rif’an Maulana_XI C MIPA 3, Tegar Sugih Satrio_XI E IPS 2, M. Khoirul Latif_X D MIPA 3.

Posting Komentar

0 Komentar