Kudus, el-miffa.com - Bulan Suci Ramadan 1442 H segera menghampiri kita. Sudah selayaknya kita menyambutnya suka cita sebagaimana perintah Rasulullah SAW. Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah teladan kita dalam melaksanakan ibadah. Rasulullah menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan, antara lain dengan memperbayak sedekah, membaca Al-Quran, dan i’tikaf. Hal ini karena di antara keutamaan waktu di bulan Ramadhan adalah adanya pelipatgandaan pahala, dan termudahkannya beramal kebaikan. Anjuran banyak melakukan ibadah ini lebih ditekankan lagi ketika memasuki sepuluh akhir Ramadhan.
Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mengharap dianugerahi
Lailatul Qadar pada bulan yang sepuluh pertamanya adalah rahmat, sepuluh
keduanya adalah ampunan, dan sepuluh akhirnya adalah bebas dari neraka ini.
Walaupun, hakikatnya memang tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan
terjadinya Lailatul Qadar kecuali Allah ‘azza wajalla. Hanya saja, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:
تَحَرَّوْا
ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان
“Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir
Ramadhan. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah radliyallahu ‘anha)
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan,
dari Aisyah radliyallahu anha, ia berkata:
كَانَ
رَسُوْلُ الله إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ
أَهْلَهُ{ هذا لفظ البخاري
“Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari
menggauli istrinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.”
Demikian menurut lafadz Al-Bukhari. Dalam riwayat lain, Imam
Muslim meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu anha:
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ فِيْ
غَيْرِهِ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersungguh-sungguh
dalam sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada
bulan lainnya.” (HR Muslim)
Dalam shahihain disebutkan, dari Aisyah radliyallahu 'anha:
أَنَّ
النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى
تَوَفَّاهُ الله
“Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga Allah mewafatkan beliau.”
Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau:
تَحَرَّوْا
لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ
“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radliyallahu ‘anha)
Dan lebih khusus lagi adalah malam-malam ganjil pada rentang tujuh hari terakhir dari bulan tersebut Beberapa shahabat Nabi pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar tiba di tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah bersabda:
أَرَى
رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ
مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa
Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk
mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir. ”
(muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
الْتَمِسُوهَا
فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ
أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma)
Yang lebih khusus lagi adalah malam 27 sebagaimana
sabda Nabi tentang Lailatul Qadar:
لَيْلَةُ
سَبْع وَعِشْرِيْنَ
“(Dia adalah) malam ke-27. ” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah
bin Abi Sufyan radliyallahu ‘anhuma, dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Sahabat Ubay bin Ka’b radliyallahu ‘anhu menegaskan:
والله
إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
"Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul
Qadar) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan
shalat padanya, yaitu malam ke-27." (HR. Muslim).
Dengan demikian dapat dibuat kesimpulan bahwa Lailatul Qadar
itu ada pada sepuluh akhir Ramadhan, terutama pada malam tanggal ganjil. Dalam
hadits Abu Dzar disebutkan:
أَنَّهُ
قَامَ بِهِمْ لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ، وَخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ، وَسَبْعٍ
وَعِشْرِيْنَ، وَذَكَرَ أَنَّهُ دَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ
وَعِشْرِيْنَ خَاصَّةً
“Bahwasanya Rasulullah melakukan shalat bersama mereka (para
sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh
tujuh (27) dan disebutkan bahwasanya beliau mengajak salat keluarga dan
istri-istrinya pada malam dua puluh tujuh (27).”
Para ulama kemudian berusaha meneliti pengalaman mereka dalam menemukan Lailatul Qadar. Menurut keterangan Fathul Qarib, Hasyiah Al-Bajury, dan Fathul Muin beserta 'Ianatut Thalibin, Imam Syafii menyatakan bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh akhir Ramadhan, lebih-lebih pada malam ganjilnya, dan yang paling diharapkan adalah pada malam 21, atau 23 Ramadhan.
Di antara ulama yang menyatakan bahwa ada kaidah atau formula untuk
mengetahui itu adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H- 505 H) dan Imam Abul
Hasan as Syadzili. Bahkan dinyatakan bahwa Syekh Abu Hasan semenjak baligh
selalu mendapatkan Lailatul Qadar dan menyesuai dengan kaidah ini. Menurut Imam
Al-Ghazali dan juga ulama lainnya, sebagaimana disebut dalam I’anatut Thalibin
juz 2, hal. 257, bahwa cara untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari
hari pertama dari bulan Ramadhan:
قال الغزالي وغيره إنها تعلم فيه باليوم الأول من الشهر فإن كان أوله يوم الأحد أو يوم الأربعاء فهي ليلة تسع وعشرين أو يوم الاثنين فهي ليلة إحدى وعشرين أو يوم الثلاثاء أو الجمعة فهي ليلة سبع وعشرين أو الخميس فهي ليلة خمس وعشرين أو يوم السبت فهي ليلة ثلاث وعشرين قال الشيخ أبو الحسن ومنذ بلغت سن الرجال ما فاتتني ليلة القدر بهذه القاعدة المذكورة .
- Jika awalnya jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-29
- Jika awalnya jatuh pada hari Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-21
- Jika awalnya jatuh pada hari Selasa atau Jum'at maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27
- Jika awalnya jatuh pada hari Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-25
- Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-23
Syekh Abul Hasan As-Syadzili berkata: “Semenjak saya
menginjak usia dewasa Lailatul Qadar tidak pernah meleset dari jadwal atau
kaidah tersebut."
Kaidah ini sesuai dengan keterangan dalam Hasyiah al-Jamal,
hal. 480:
كما
اختاره الغزالي وغيره وقالوا إنها تعلم فيه باليوم الأول من الشهر فإن كان أوله
يوم الأحد أو الأربعاء فهي ليلة تسع وعشرين أو يوم الاثنين فهي ليلة إحدى وعشرين
أو يوم الثلاثاء أو الجمعة فهي ليلة سبع وعشرين أو يوم الخميس فهي ليلة خمس وعشرين
أو يوم السبت فهي ليلة ثلاث وعشرين.
Berbeda dari keterangan dalam I'anatut Thalibin dalam halaman 258, kitab Hasyiah al-Bajury dalam juz pertama halaman 304, mencantumkan kaidah lain:
وإناجميعا
إن نصم يوم جمعة # ففى تاسع العشرين خذ ليلة القدر
وإن كان يوم السبت أول صومنا#فحادي وعشرين إعتمده بلاعذر
وإن هلّ يوم الصوم فى أحد # ففى سابع العشرين مارمت فاستقر
وإن هلّ بالإثنين فاعلم بأنّه # يوافيك نيل الوصل فى تاسع العشرى
ويوم الثلاثاإن بدا الشهرفاعتمد # على خامس العشرين تحظ بها القدر
وفى الأربعاء إن هلّ يامن يرومها # فدونك فاطلب وصلها سابع العشي
ويوم الخميس إن بدا الشهر فاجتهد # توافيك بعد العشر فى ليلة الوتر
(Jika awal puasanya Jumat maka pada malam ke-29; jika Sabtu maka pada malam ke-21; jika Aha maka pada malam ke-27; jika pada Senin maka pada malam ke-29; jika Selasa maka pada malam ke-25; jika Rabu maka pada malam ke-27; jika Kamis maka pada sepuluh akhir malam-malam ganjil).
Kaidah ini tercantum dalam kitab-kitab para ulama termasuk dalam kitab-kitab fiqih bermazhab Syafi’i (fiqh Syafi’iyyah). Rumus ini teruji dari kebiasaan para ulama yang telah menemui Lailatul Qadar.
Demikianlah ijtihad Imam Al-Ghazali dan disetujui oleh banyak ulama sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab fiqih. Tentang hakikat kepastian kebenarannya, jawaban terbaiknya adalah wallahu ‘a’lam (hanya Allah yang paling tahu). Karena itu, walaupun titik pusat konsentrasi qiyam ramadhan dan ibadah kita boleh diarahkan sesuai dengan kaidah tersebut, hendaknya kita terus mencari malam yang penuh kemuliaan itu di malam atau tanggal apa dan mana pun, dan terutama pada malam ganjil, dan terutama pada malam-malam sepuluh akhir, dan terutama lagi pada malam ganjil di sepuluh akhir. (MH)
0 Komentar