Nabi Ibrahim, Kurban dan Pelajaran Mencinta

{[["☆","★"]]}

ilustrasi : kumparan.com

 Oleh: Mualim Ihsan* 

Manusia adalah makhluk yang mencinta dan sekaligus ingin dicintai. Seorang istri mencintai suaminya sekaligus mengharap dicintai suaminya. Ia berharap akan mendapatkan pancaran sinar cinta suaminya sepenuh hati. Ia tidak ingin hati suaminya mendua. Bahkan demi cintanya kepada suami Ia akan selalu berusaha keras untuk menyenangkan hati suaminya.  

Begitu pula, seorang suami juga mencintai istrinya. Disisi lain ia juga mendambakan limpahan cinta dari sitrinya. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan istrinya. Sebisa mungkin ia akan menghindari  menyakiti hati istrinya.  

Ketika lahir seorang anak, cinta suami istri tertumpah kepada anak. Suami menjadi ayah dan istri menjadi ibu. Mereka berdua menjadi orangtua. Kemudian anak menjadi pusat segalanya. Segala daya upaya dilakukan orangtua untuk mempersiapkan masa depan anaknya. Anak bahagia, tumbuh sehat, cerdas, baik budinya, adalah dambaan hati orangtua pada lazimnya.

Dalam tradisi kenabian kehadiran anak tidak hanya sebatas sebagai perhiasaan hidup saja. Lebih dari itu, kehadiran anak merupakan kehadiran pemimpin masa depan. Anak akan meneruskan estafet perjuangan para Nabi untuk membumikan ajaran tauhid di muka bumi ini. 

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”, demikian pinta Nabi Ibrahim (Q.S As-Shaffat: 100).

Allah berkenan memenuhi permintaan Nabi Ibrahim. Lahirlah Ismail. Suatu anugerah yang besar bagi Nabi Ibrahim. Sebab sudah sekian puluh tahun ia menanti kehadiran seorang anak. Satu tahun dua tahun ia menunggu lahirnya buah hati. Apa yang Ia dambakan tak kunjung datang. Dan diusianya yang sudah senja, sudah sepuh, lahirlah anak yang kelak akan meneruskan perjuangannya menegakkan tauhid. Betapa senang, betapa bahagianya Nabi Ibrahim.

Meski demikian, Nabi Ibrahim tidak lama menikmati suka cita atas kelahiran Ismail. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk pergi ke Mekkah bersama Ismail dan ibunya. Tidak hanya itu, Allah juga memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Ismail dan ibunya di Mekkah. Padahal waktu itu, Mekkah merupakan lembah padang pasir yang gersang, tandus, tiada air, sepi, dan tidak berpenghuni.

Tidak hanya itu, setelah Ismail menginjak usia remaja, Nabi Ibrahim  mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putra semata wayangnya, Ismail.

Pada malam pertama mimpi itu datang kepada Ibrahim. Dalam mimpinya seakan-akan ada yang berkata kepadanya: “Susungguhnya Allah memerintankanmu menyembelih anakmu ini”.

Setelah bangun dari tidurnya, dari pagi sampai sore Nabi Ibrahim merenungkan mimpinya itu. “Apakah mimpi ini dari Allah atau setan?” Nabi Ibrahim berusaha untuk mendapatkan kepastian akan sumber mimpinya. Apakah mimpi tersebut benar-benar dari Allah atau bukan.

Berikutnya hari Nabi Ibrahim merenungkan mimpinya ini disebut dengan hari Tarwiyah. Tarwiyah yang berarti perenungan.

  Kemudian pada malam kedua, Nabi Ibrahim bermimpi lagi, mimpi yang sama dengan mimpi pada malam  pertama. Nabi Ibrahim pun mengetahui bahwa mimpi itu datang dari Allah. Nabi Ibrahim benar-benar tahu, meyakini, bahwa mimpi itu benar-benar perintah Allah.

Selanjutnya hari ketika Nabi Ibrahim meyakini dan mengetahui mimpi itu dari Allah disebut dengan hari Arafah. “Arafa” yang berarati telah mengetahui atau yakin.

Mimpi serupa datang lagi pada malam ketiga. Mimpi yang ketiga ini mendorong Nabi Ibrahim untuk melaksanakan perintah dalam mimpi tersebut. Keesokan harinya Nabi Ibrahim bertekad menyembelih putranya. Ibrahim pun ikhlas berserah diri melaksanakan perintah menyembelih Ismail.

Tetapi ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail Allah mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar.  Hal ini merupakan balasan atas ketaatan dan keikhlasan Nabi Ibrahim dan Ismail mentaati perintah  Allah.

Maka hari ketika Nabi Ibrahim bertekad menyembelih Ismail, putranya, dinamakan hari Nahr, yang berarti hari penyembelihan. Kemudian hari Nahr dikenal dengan penyembelihan hewan kurban. Dengan adanya peristiwa ini. dimulailah kegiatan berkurban pada hari Raya Idul Adha yang berlangsung hingga saat ini.

Pelajaran Mencinta

            Kisah Nabi Ibrahim telah memberi pelajaran berharga bagi kita. Banyak pelajaran bagaimana kita mencinta dalam kisah Ibrahim dan Ismail. Pertama, cinta kita yang utama dan pertama adalah mencintai Allah Yang Maha Kasih. Kita memang mencintai anak-anak kita, harta, jabatan kita, status social kita. Akan tetapi jangan sampai mengalahkan cinta kita kepada Allah.

            Harta kita, jabatan kita, status social kita, dan anak-anak kita ibarat  “Ismail” bagi Nabi Ibrahim. Jangan sampai kecintaan kita terhadap apa yang kita miliki melalaikan kita kepada Allah.  Jangan sampai hati kita menduakan Allah. 

            Jika pada saatnya Allah menghendaki melepas apa yang kita miliki, maka lepaskanlah. Jika Allah meminta apa yang kita cintai, maka serahkanlah. Sebagaimana Nabi Ibrahim menyerahkan Ismail yang ia cintai untuk dikurbankan. Ismail hanyalah titipan Allah, sebagaimana harta dan apa yang kita miliki juga titipan dari Allah.

        Kedua, Allah tidak membutuhkan sesajen atau persembahan. Apalagi jika sesajen itu berupa manusia, mengorbankan nyawa manusia. Allah mengajarkan kepada kita untuk menghargai dan mencintai kehidupan manusia. Tidak boleh menjadikan manusia tumbal dengan alasan mengabdi kepada Allah Pemelihara Alam. Karenanya Allah mengganti Ismail dengan seekor domba.   

Ketiga, jika kita mencintai Allah maka cintailah sesama manusia. Jika ingin dekat kepada Allah, maka dektilah sesama manusia.  Dengan cara apa? Dengan cara mengajak orang lain bersama-sama menikmati karunia Allah. Dengan cara membahagiakan hati sesama.

Bahagiankanlah hati orang yang susah, berilah pakaian kepada orang yang telanjang, berilah makan kepada orang yang kelaparan, dan berilah minum kepada orang yang dahaga. Inilah cara kita mencintai Allah.   

Demi cintanya kepada Allah Nabi Ibarahim rela melepas, menyerahkan, dan  mengorbankan Ismail. Tetapi bukan Ismail yang menjadi kurban tetapi seekor domba. Seekor domba sebagai symbol karunia Allah yang patut kita syukuri.

Allah tidak butuh sesajen kurban seekor domba. Yang naik di sisi Allah bukan darah atau daging seekor domba, melainkan ketulusan kita berkurban untuk sesama.

Yang bernilai di sisi Allah adalah ketulusan kita membahagiakan sesama. Ketulusan kita untuk berbagi. Berbagi makanan, berbagi ilmu, berbagi keceriaan, dan berbagi kegembiraan kepada orang lain. Ketulusan itulah tanda kita cinta kepada Allah.      

*) Mualim, Pendidik di MTs NU Miftahul Falah Dawe Kudus Jawa Tengah

dikutip dari : mwcnudawe.id

https://www.mwcnudawe.id/2021/07/nabi-ibrahim-kurban-dan-pelajaran.html



Posting Komentar

0 Komentar