Tentang Visi, Mimpi dan Takdir Ilahi ; Membaca Puisi Karya Aida Saskia Cahyani

{[["☆","★"]]}


Tentang Visi, Mimpi dan Takdir Ilahi ; Membaca Puisi Karya Aida Saskia Cahyani

Oleh Muhammad Farid


Pergolakan soal bagaimana kehidupan kita di masa depan seringkali muncul sehingga membuat ragu dan insecure.Sebab itu pula, mungkin, sebagian orang akhirnya memilih untuk "bersembunyi" dibalik realita kehidupan sekitarnya dan tidak berani untuk bertindak lebih jauh menyusun rencana atas dirinya sendiri.


Ada yang menyebutnya sebagai sikap introvert. Yang oleh sebagian orang dinilai menggunakan kacamata benar-salah. Atau sebagian yang lain dijadikan sebagai pembelaan, seperti "aku ini introvert yang tidak suka bicara dihadapan publik, yang tidak memiliki banyak ekspresi dan cara untuk bertindak sebagai manusia seutuhnya". 


Jika dilanjutkan, "Beda sama dia atau kamu. Yang bisa berteman dengan siapa saja. Yang bisa cuap-cuap tentang apa saja. Dan seolah tidak bisa diam walau sekedip mata."


Hmmm. Menyedihkan ya tampaknya. Tapi ya tidak begitu juga. Semua orang memiliki nalar introvert dan ekstrovert yang sama pada mulanya. Keduanya penting dan berguna selama orang itu bisa menjaga keseimbangan akan dua hal tersebut.


Saya menemui dua judul puisi karya Aida Saskia Cahyani yang bicara soal menjadi manusia seutuhnya atau hal-hal lain yang menyangkut self reward dan keyakinan terhadap masa depan.


Menarik untuk diulas karena saya rasa dalam puisinya itu, Aida Saskia berusaha mencari sebuah kesejatian perihal visi, mimpi dan takdir ilahi. Perhatikan sajaknya :


Sepiku dalam lamunan mimpi // mendayu-dayu ke jiwa terdalam // mengisyaratkan kepada angan // bahwa impian kan jadi kenyataan


(Tentang Masa Nanti, Aida Saskia Cahyani, 2020)


Dalam sajak tersebut, Aida memulai dengan ungkapan optimis yang mempersonifikasikan sepi sebagai pemberi kabar baik bahwa suatu saat impian akan menjadi kenyataan.


Dalam realitasnya, sepi memang terkadang jadi "teman" terbaik ketika tidak ada lagi orang yang percaya atau tidak ada lagi orang yang bisa kita ajak bicara. Para sufi atau kaum filosof juga seringkali menemukan hikmah ketika sedang sepi. Konon kesunyian itu lebih dekat dengan Tuhan sehingga banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari berbagai hal yang pernah dan akan kita alami.


Namun sepi ini juga akan bahaya manakala dibuat berlarut dan tidak sadar adanya kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Hal itu lah yang menjadikan ketidakseimbangan perasaan sehingga seseorang bisa jadi terjebak dalam ketakutan yang mencekam.


Bahkan jika tidak terkendali, itu akan bisa mematikan jiwa (baca : kesadaran) yang berpengaruh pada ketidakmampuan berpikir jauh, pesimis dan malfungsi akal. Ia hanya bisa menanti keajaiban tanpa tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Aida pada bait selanjutnya berikut ini :


Anganku seakan terbang // menembus langit tertinggi // Karena memikirkan yang kan terjadi // Di masa nanti // Dan jiwaku hanya diam membisu


Maka, pada puisi yang lain, Aida menuliskan supaya jangan sampai merasa dalam kesendirian yang kosong. Aida mengingatkan tentang keharusan untuk selalu merasa sedang bersama Tuhan dalam berbagai kesempatan. Yang artinya tidak ada sepi lagi karena ada Tuhan yang Maha Menemani.


Ingatlah Setiap Waktu


Jangan merasa sendiri // Tak usah merasa sepi // Hadirlah kepada-Nya // ketuk pintu-Nya // Benamkan Ia dalam hati // Hadirkan dalam diri // Sampai sepi dan sunyi tak dikenali // Ingatlah Ia // Maka Ia akan mengingatmu


_(Aida Saskia Cahyani, 2020)_



Aida seolah ingin menjelaskan ungkapan Udzkurullah, Adzkurkum. Ingatlah Allah, maka Aku (Allah) akan mengingatmu. Dan jika dilanjutkan mungkin juga "Ud'unii astajib lakum" panggil lah aku (berdoalah kepadaku), niscaya akan aku kabulkan.


Simpan dalam jiwa // Adakan dalam rasa // Perbaiklah sangka kepada-Nya // Karena Ia mengikuti sangkamu // Jaga hati dan jiwa // Sebab pengawasannya slalu ada // Tenanglah ...


Dalam bait itu cukup jelas bahwa Aida ingin meyakinkan bahwa kehidupan ini ada yang mengatur. Namun meskipun demikian, Sang Maha Mengatur itupun masih mau bernegosiasi dengan menurut pada "sangkaan" makhluk yang diatur.


Tentu ini sebuah kehidupan yang ideal karena ada negosiasi baik antara kedua belah pihak. Ibarat transaksi jual beli akan sama-sama enak. Malah bisa jadi lebih enak di posisi pembeli karena tidak repot memproduksi. 


Maksudnya, hanya dengan bermodalkan prasangka, mimpi dan visi itu bisa sesuai atau disetujui sebagai takdir Ilahi. 


Maka, bait terakhir dalam puisi Aida ini sangat religius dengan nada sedikit mendakwahi. Bukan sesuatu yang salah juga mengingat ini memang kategori puisi religi.


Namun, bila tak kau temui // mungkin hatimu tertutupi // Bukalah, rasakan hadir-Nya // Dekaplah rahmat-Nya


Puisi Aida Saskia Cahyani ini say kira layak jadi bahan untuk refleksi maupun evaluasi diri. Utamanya perihal sejauh mana kita memahami visi dan mimpi, sejauh mana juga kita berprasangka pada ketentuan yang telah terjadi. Dan, yang terpenting, ini bisa menjadi motivasi agar kita selalu optimis karena punya Allah. Ilahi Rabbi.


*Kudus, 15 September 2022*

Posting Komentar

0 Komentar