Abdul Muchith, begitulah nama yang diberikan oleh sang ayah, yaitu KH. Ahmad Arnan, salah satu tokoh dan pendiri madrasah salafiyah ternama di Kudus.
Kiai Abdul Muchith Lahir di Baletengahan, Desa Langgardalem Kecamatan Kota Kudus. Beliau merupakan putra ke 2 dari 4 bersaudara, hasil buah cinta dari pernikahan Kiai Ahmad & Nyai Suparmi.
Semasa kecilnya, Kiai Abdul Muchith, yang merupakan ayahanda dari KH. Ahmad Arwan, salah satu Kiai yang menjadi sesepuh di Madrasah Miftahul Falah saat ini dan menjabat sebagai ketua dewan Mustasyar atau Penasehat Madrasah NU Miftahul Falah, memang sudah dikenalkan dengan ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu syara’ oleh ayahnya sendiri, kiai Ahmad.
Hal ini memang sudah tidak asing lagi di kalangan daerah yang dikenal dengan
istilah Kudus Kulon, di mana memang daerah tersebut banyak bermunculan
tokoh-tokoh agama maupun ulama’ besar, seperti KH. R. Asnawi, Mbah Arwani, Mbah Turaichan, Mbah Ma’ruf
Asnawi atau biasa dikenal dengan mbah kaji, hingga Mbah Makmun Ahmad,
adik dari kiai Abdul Muchith sendiri.
Masa-masa muda Kiai Abdul Muchith dihabiskan untuk menimba dan mengaji ilmu-ilmu agama di berbagai pesantren.
Di antara pesantren yang pernah dijadikan beliau untuk menimba ilmu adalah Pesantren Tremas, Pacitan Jawa Timur juga Pesantren Di Kajen Pati. Selain itu, beliau juga banyak menimba ilmu dari ayahnya sendiri yaitu Kiai Ahmad, juga ulama’-ulama’ ternama di Kudus pada waktu itu.
Hingga akhirnya beliau menjadi naib atau petugas Kantor Urusan Agama atau KUA di Kecamatan Bae yang pada waktu itu masih berbentuk Kawedanan Bae. Sebagaimana gurunya KH. Turaichan Adjhuri yang juga merupakan seorang naib.
Namun atas saran dari KH. R. Asnawi Kudus, Kiai Abdul Muchith
mengundurkan dari dari pegawai di KUA Kawedanan Bae. Kiai Abdul Muchith juga
selalu membaca kitab atau muthola’ah, bisa dikatakan tiada hari tanpa muthola’ah,
itulah yang biasa beliau lakukan setiap hari.
Melihat ketekunan dari Kiai Abdul Muchith tersebut, Kiai Shaleh akhirnya menjadikan beliau sebagai mantu pertamanya, dinikahkan dengan putri pertama beliau, Hj. Nuriyah Sujatmi.
Hal ini tidak mengherankan karena
Mbah Shaleh memang punya ghirah atau semangat untuk mengembangkan Islam
di daerah Cendono Dawe atau Kudus bagian utara. Sehingga beliau mencari menantu
yang benar-benar bisa melancarkan misi dari Kiai Shaleh. Pernikahan beliau
dengan Hj. Nuriyah dikaruniai 6 orang anak :
1. Salmah
2. Muadzillah
(meninggal masih muda)
3. Moh.
Muqorrobin
4. KH. Ahmad
Arwan
5. KH. EM.
Masyfu’ie
6. A.
Muhlis (meninggal masih kecil, setelah dikhitan)
SANG
PENCETUS IDE LAHIRNYA MADRASAH MIFTAHUL FALAH
Suatu hari, KH. Noor Salim sedang menjemur dadatan (tanaman kacang tanah yang dimanfaatkan untuk pakan ternak) yang diambilnya dari sawah. Datanglah Kiai Abdul Muchith yang pada waktu itu berusia sekitar 30 tahun, suatu usia yang bisa dikatakan masih muda.
Kemudian tidak lama setelah kerawuhan kiai Abdul Muchith di ndalem kiai Noor Salim, kiai Abdul Muchith membuka pembicaraan dengan suatu pertanyaan. “Kulo niki pripun lek.?” Yang dalam bahasa Indonesia” Saya ini bagaimana, paman?”.
Diulanginya pertanyaan tersebut sampai tiga kali. Kemudian Kiai Noor Salim pun sempat bingung dengan pertanyaan dari Kiai Muchit yang masih ada hubungan kerabat. “Maksudmu piye kang?” “Maksud kamu bagaimana, kang?” kurang lebih begitulah Kiai Noor Salim balik bertanya kepada Kiai Abdul Muchith.
Kemudian Kiai Abdul Muchith melanjutkan pembicaraan. “Kulo
niki dunyo mboten, mosok akhirat nggeh mboten?” yang kurang lebih maksudnya
“Saya ini masalah dunia tidak begitu mampu atau punya, masa masalah akhirat
juga tidak bias saya peroleh?” mendengar pernyataan Kiai Abdul Muchith tersebut
Kiai Noor Salim langsung bisa menangkap apa yang menjadi kegalauan kiai Abdul
Muchith.
Ternyata selama ini kiai Abdul Muchith mempunyai keinginan kuat mengamalkan ilmu yang beliau miliki. Hanya saja beliau belum memilki sarana untuk mengamalkan dan mengajarkannya.
Memang pada waktu itu di wilayah desa Cendono sendiri terutama Kawaan sudah terdapat banyak pengajian-pengajian, majelis-majelis ilmu, namun pada waktu itu masih sangat sederhana bahkan tradisional. Hanya bertempat seadanya, di rumah-rumah kiainya, juga di mushola-mushola.
Melihat hal demikian, membuat Kiai Abdul Muchith ingin membuat suatu lembaga pendidikan yang rapi dan terorganisir dengan baik. Sehingga mungkin beliau ingin membuat pengajian atau kegiatan Ta’limul muta’allim seperti halnya di madrasah TBS, salah satu yang ada di kampung halaman beliau.
Jadi berangkat dari pengalaman beliau tersebut, Kiai Abdul Muchith ingin mendirikan madrasah juga di daerah Cendono Dawe. Inilah yang dimaksud beliau dengan masalah akhirat yang sangat ingin beliau raih.
Sedangkan yang dimaksud dunia pada waktu adalah masalah harta dan mata pencaharian beliau ketika telah menjadi menantu dari Kiai Shaleh, yang juga salah satu tokoh pelopor berdirinya Madrasah Miftahul Falah. Pada waktu itu beliau memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Dapat dimaklumi kenapa
beliau berkata demikian karena memang beliau tidak ahli di bidang pertanian,
mengingat beliau berasal dari daerah kota. Sedangkan yang menjadi keahlian
beliau adalah di bidang ilmu-ilmu agama. Apalagi beliau pada waktu itu juga
menjadi seorang naib.
SANG KIAI VISIONER
Dengan latar belakang beliau yang seperti itu, bisa kita pahami kalau beliau memiliki visi jauh ke depan, di mana pada waktu itu beliau sudah berpikir bahwa perlu adanya lembaga yang benar-benar menjadi tempat menimba ilmu.
Aktivitas pengajian-pengajian yang ada di ndalem dan di mushola mertuanya yaitu Mbah Saleh maupun Mbah Ali Ahmadi, (yang merupakan Kakek dari Kiai Muslim, juga merupakan adik dari Mbah Shaleh) perlu diberikan wadah dan tempat yang baik. Sehingga program-program pengajaran bisa berjalan dengan baik.
Seperti yang kita tahu, bahwa Kiai Abdul Muchith merupakan putra dari salah satu pendiri Pondok Pesantren Tasywiquth Thullab, yang merypakan cikal bakal Madrasah TBS Kudus, jadi Kiai Abdul Muchith ingin mengikuti jejak dari ayah beliau tersebut untuk mendirikan Madrasah.
Apalagi didukung juga oleh ayah mertua beliau yaitu Kiai Shaleh yang notabenenya merupakan Kiai yang sangat kaya raya, memiliki kekuatan di bidang ekonomi dan finansial. Akan tetapi Kiai Abdul Muchith pada waktu itu masih sungkan untuk menyampaikan ide dan gagasan beliau tersebut kepada sang mertua.
Hingga akhirnya beliau matur kepada Kiai Noor Salim apa yang menjadi unek-unek dari Kiai Abdul Muchith. Kiai Noor Salim pun langsung memahami kegalauan dari Kiai Abdul Muchith dan akhirnya menyampaikannya kepada Kiai Shaleh, mengingat Kiai Noor Salim sangat akrab dan memiliki kedekatan batin maupun emosional dengan Kiai Shaleh.
Singkat cerita,
akhirnya dengan berbagai daya dan upaya lahirlah Madrasah yang saat ini kita
kenal dengann nama Miftahul Falah. Singkat cerita akhirnya atas prakarsa dari
petinggi Kasmuin akhirnya dapat menempati bekas Pasar Pahing, Petinggi atau
Kepala Desa Kasmuin meruopakan adik ipar dari Kiai Shaleh yang semua itu tidak
lepas dari ide dan visi dari Kiai Abdul Muchith. Kiai Abdul Muchith juga
menjadi salah satu dari pengajar dalam madrasah tersebut.
Selain itu, Kiai Abdul Muchith juga merupakan salah satu tokoh yang memprakarsai berdirinya MTs bersama juga tokoh-tokoh yang lainnya. Sekitar tahun 1970 lahirlah Madrasah Tsanawiyah Miftahul Falah (setelah Kiai Abdul Muchith beristikharah mencarikan nama dan dimintakan restu kepada salah satu Ulama dari Madura).
Bahkan dua tahun setelah berdirinya MTs, atas ide dari Kiai Abdul Muchith, berdirilah Madrasah Miftahul Falah untuk Putri. Kiai Abdul Muchith berpikir bahwa ke depan persaingan akan semakin ketat, sehingga perempuan pun juga harus mengenyam pendidikan formal juga, khusunya di daerah Dawe dan sekitarnya.
Hal ini seperti salah satu dari kisah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jamiyyah NU, yang mana Mbah Hasyim juga salah satu tokoh yang memiliki gagasan, ide dan menginginkan perempuan untuk mengenyam pendidikan juga.
Memang pada waktu, banyak Kiai atau
ulama yang kurang sependapat dengan beliau, yang masih memandang tabu perempuan
untuk keluar rumah dan melakukan aktivitas layaknya seorang pria. Akan tetapi
seiring berjalannya waktu, ternyata ide beliau dapat diterima dan memang di era
sekarang ini, bisa kita bayangkan bagaimana jika perempuan-perempuan Indonesia
tidak sekolah? Mungkin itulah yang menjadi gagasan dari Kiai Abdul Muchith, yang
penulis simpulkan sebagai Sang Kiai Visioner.
AKHIR PERJALANAN KIAI ABDUL MUCHITH
Jumat Pon, Robiul Akhir 1392 bertepatan dengan bulan Mei 1972, Sang Kiai penecutus ide lahirnya madrasah Miftahul Falah berpulang ke rahmatullah. Setelah sekian lama mengabdikan jiwa dan raga beliau demi majunya pendidikan di Madrasah yang beliau dirikan bersama dengan tokoh-tokoh sejawatnya pada waktu itu.
Kiai Abdul Muchith, sosok kiai yang dengan sejuta pengalaman beliau telah mewarisakan sebuah lembaga pendidikan yang sampai sekarang masih berdiri dan banyak mengalami perkembangan hingga sampai sebesar ini. salah pelajaran yang dapat diambli dari beliau ialah kita benar-benar memperhatikan hablun minannas, selain juga hablun minallah Memang hubungan dengan Sang Kholiq sangat penting, tetapi hubungan dengan sesama manusia juga tidak kalah pentingya.
Hubungan dengan Allah, asal kita mau benar-benar menjalankan perintah, memohon ampunan dan bertaubat ketika salah atau melakukan dosa, bisa dikatakan beres. Allah memiliki sifat maha pengampun, maha penyayang dan juga maha pengasih.
Akan tetapi apabila berbuat salah dan dosa kepada sesama, maka belum tentu dapat dengan mudah kita mendapatkan maaf dan keikhlasannya.
Kiai Abdul Muchith
dimakamkan di pemakaman umum Islam Cendono, tepatnya di belakang masjid
Roudlotus Sholihin Cendono bersama dengan beberapa Masyayikh & Muassis
madrasah yang lain. Setiap tahunnya selalu diziarahi oleh ribuan santri
Miftahul Falah saat pelaksanaan Harlah madrasah Miftahul Falah
0 Komentar