"Sebagai umat Muslim, kita wajib menunaikan ibadah haji ketika sudah cukup mampu untuk menunaikannya. Mampu yang dimaksud adalah mampu dalam segi perjalanan, kuat secara fisik, cukup dalam segi perbekalan dan biaya transportasi," jelasnya.
Dalam hadits diceritakan, barang siapa yang meninggalkan ibadah haji tetapi dalam keadaan mampu, maka lebih baik dia mati dalam keadaan seperti matinya orang Yahudi dan Nasrani.
Bunyi hadits tersebut yaitu barangsiapa tidak menghalanginya hajat yang nyata atau sakit yang bisa mencegah atau karena pemimpin yang zalim lalu ia tidak berhaji maka silakan ia mati dalam keadaan Yahudi atau jika Nasrani. (HR Baihaqi).
Yang dimaksud pemimpin yang zalim adalah bila pemerintah itu melarang haji bukan karena kedaruratan. Seperti pada masa kolonial Belanda, umat Muslim di Nusantara dilarang berhaji oleh Belanda sebagai siasat politik untuk memutus hubungan dengan negara-negara lain di Timur Tengah.
"Maka pelarangan Belanda terhadap pelaksanaan ibadah haji termasuk perbuatan dzalim," imbuhnya.
Selain membahas tentang kewajiban haji, Kiai Aniq juga membahas tentang larangan mendzalimi sesama Muslim. Sesama Muslim itu merupakan saudara dalam keseagamaan. Oleh karena itu, Rasulullah melarang umatnya untuk mendzalimi sesama Muslim.
Rasulullah bersabda: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya” (HR. Muslim).
Reporter
Fachrul Maulana Iqbal
(Siswa kelas XIC)
Editor
Umi Zakiyatun Nafis, S. Kom. I
0 Komentar