Setiap bulan November tiba, bangsa ini kembali mengenang semangat
para pahlawan. Di berbagai tempat berkibar bendera, terdengar lagu perjuangan,
dan terucap kalimat yang sudah begitu akrab di telinga: “Cinta
tanah air adalah bagian dari iman.”
Kalimat itu seolah menjadi gema yang menyatukan kita semua. Ia
terdengar di pidato, terpampang di spanduk, dan ramai di media sosial. Namun,
di balik kemegahan kata itu, muncul pertanyaan yang patut direnungkan: Apakah
cinta tanah air kita sudah benar-benar hidup dalam tindakan, atau hanya
berhenti di bibir dan tulisan?
Dalam Islam, cinta tidak berhenti pada perasaan, ia harus berbuah
amal. Begitu pula cinta kepada tanah air tidak cukup dengan menyanyikan lagu
perjuangan atau berpose di depan bendera. Cinta sejati kepada negeri berarti
berbuat sesuatu untuk menjaganya, memajukannya, dan mewariskan nilai-nilai
kebaikan kepada generasi berikutnya.
Rasulullah SAW memberi teladan luhur tentang cinta tanah air. Saat
beliau harus meninggalkan Makkah untuk berhijrah, beliau berdiri di atas bukit
al-Hazwarah salah satu tempat tertinggi di kota itu. Dengan pandangan penuh
haru, beliau menatap tanah kelahirannya, lalu bersabda dengan suara yang penuh
perasaan:
وَاللَّهِ
إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ،
وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ. (رواه الترمذي)
“Demi Allah, engkau (wahai Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah
dan yang paling dicintai oleh Allah. Seandainya aku tidak dikeluarkan darimu,
niscaya aku tidak akan keluar darimu.” (HR. Tirmidzi)
Dari ungkapan itu kita belajar, bahwa mencintai tanah air adalah
naluri fitrah manusia yang luhur, dan bagi orang beriman, cinta itu menjadi
ibadah. Karena di sanalah kita lahir, tumbuh, dan berjuang.
Dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim ‘alaihiss alām pun berdoa agar
negerinya menjadi tempat yang aman dan diberkahi:
رَبِّ
اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman.” (QS.
Al-Baqarah: 126)
Doa itu adalah bentuk nyata dari cinta tanah air: mengharap
keamanan, kedamaian, dan keberkahan bagi negeri tempat tinggal. Maka, ketika
seorang muslim bekerja dengan jujur, belajar dengan sungguh-sungguh, berjuang
menolak korupsi, atau menolong sesama tanpa pamrih itu semua adalah wujud iman
dalam bentuk pengabdian sosial.
Para pahlawan bangsa telah menunjukkan bahwa cinta tanah air
menuntut keberanian dan pengorbanan. Mereka berjuang bukan untuk popularitas,
tapi untuk kehormatan bangsa.
Kini, tugas kita bukan lagi mengangkat senjata, tetapi melanjutkan
perjuangan mereka dengan karya, kejujuran, dan tanggung jawab. Cinta tanah air
berarti: tidak menyebarkan kebencian dan hoaks, menjaga lingkungan dari
kerusakan, menegakkan keadilan dan kejujuran, menghormati perbedaan dan persaudaraan.
Agama dan negara bukan dua hal yang bertentangan. Keduanya saling
menguatkan. Agama menuntun arah, sementara tanah air memberi ruang untuk
mengamalkannya. Imam al-Ghazali, dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum
al-Din, juz 1, hlm. 33, menulis sebuah kalimat yang sarat makna:
وَالـمُلْكُ
وَالدِّينُ تَوْأَمَانِ فَالدِّينُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لَا
أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُومٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ.
Negara dan agama ibarat dua saudara kembar. Agama menjadi fondasi
yang menegakkan, sementara Negara adalah penjaga yang melindunginya. Sesuatu
yang tak punya dasar pasti akan runtuh, dan sesuatu yang tak memiliki penjaga
akan lenyap tanpa bekas.
Sayyidina Umar r.a. juga pernah berkata, “Seandainya tidak ada
rasa cinta kepada tanah air, niscaya negeri-negeri yang buruk pun akan hancur.
Namun karena cinta kepada tanah air, berbagai negeri bisa berdiri dan makmur.”
Kalimat bijak itu adalah cermin dari kenyataan hidup. Cinta tanah
air bukan sekadar perasaan, melainkan kekuatan moral dan sosial yang
menggerakkan manusia untuk berbuat. Tanpa cinta, tidak ada pengorbanan; tanpa
rasa memiliki, tidak ada kepedulian. Negeri bukan hancur karena miskin sumber
daya, melainkan karena hilangnya cinta di hati warganya.
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menegaskan bahwa
membela tanah air hukumnya fardhu ‘ain ketika negeri diserang penjajah.
Itulah wujud cinta tanah air yang berpadu dengan iman berjuang untuk negeri, beramal untuk agama.
Ungkapan “Hubbul Wathan Minal Iman” memang bukan hadits,
tetapi maknanya dalam, iman yang sejati selalu menumbuhkan kepedulian terhadap
negeri. Bagaimana mungkin seseorang mengaku beriman sementara ia acuh terhadap
kemiskinan, kebodohan, atau ketidakadilan di sekitarnya?
Cinta tanah air yang sejati adalah iman yang hidup dan bergerak
yang mendorong kita untuk memperbaiki, mengabdi, dan menebar manfaat bagi
sesama.
Hari Pahlawan bukan sekadar momen untuk mengenang, tapi untuk
meneladani. Mari kita buktikan cinta kepada Indonesia dengan amal nyata,
kejujuran bekerja, ketulusan mengajar, kepedulian sosial, dan doa-doa terbaik
bagi negeri ini.
Bagi pelajar, cinta tanah air berarti belajar dengan
sungguh-sungguh, menghormati guru, menghargai teman, dan menjaga lingkungan
dengan baik. Setiap lembar buku yang dibaca, setiap tugas yang diselesaikan
dengan niat ikhlas, adalah bentuk kecil dari perjuangan melawan kebodohan dan
kemalasan. Menjadi pelajar yang disiplin, berakhlak, dan berprestasi adalah
cara terbaik untuk meneruskan semangat para pahlawan.
Mari, di Hari Pahlawan ini, kita buktikan cinta kita kepada
Indonesia dengan belajar yang rajin, bekerja yang jujur, mengajar dengan
ikhlas, dan berbuat kebaikan di manapun berada. Sebab cinta tanah air yang
sejati bukan hanya diucapkan, tapi dihidupkan. Dan sesungguhnya, cinta tanah
air adalah iman yang bergerak dari hati,
ke amal, menuju kemuliaan bangsa.
Mari kita buktikan cinta kepada Indonesia dengan amal nyata belajar
sungguh-sungguh, menghargai perbedaan, dan berbuat kebaikan sekecil apa pun.
Sebab cinta tanah air bukan slogan yang diucap, melainkan pengabdian yang
dihidupkan.
Penulis
Saefudin, M.Pd
(Guru Ushul Fiqh MA NU Miftahul Falah)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
0 Komentar