CINTA TANAH AIR BUKAN SEKADAR SLOGAN, TAPI PENGABDIAN

{[["☆","★"]]}

  

Setiap bulan November tiba, bangsa ini kembali mengenang semangat para pahlawan. Di berbagai tempat berkibar bendera, terdengar lagu perjuangan, dan terucap kalimat yang sudah begitu akrab di telinga: “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.”

Kalimat itu seolah menjadi gema yang menyatukan kita semua. Ia terdengar di pidato, terpampang di spanduk, dan ramai di media sosial. Namun, di balik kemegahan kata itu, muncul pertanyaan yang patut direnungkan: Apakah cinta tanah air kita sudah benar-benar hidup dalam tindakan, atau hanya berhenti di bibir dan tulisan?

Dalam Islam, cinta tidak berhenti pada perasaan, ia harus berbuah amal. Begitu pula cinta kepada tanah air tidak cukup dengan menyanyikan lagu perjuangan atau berpose di depan bendera. Cinta sejati kepada negeri berarti berbuat sesuatu untuk menjaganya, memajukannya, dan mewariskan nilai-nilai kebaikan kepada generasi berikutnya.

Rasulullah SAW memberi teladan luhur tentang cinta tanah air. Saat beliau harus meninggalkan Makkah untuk berhijrah, beliau berdiri di atas bukit al-Hazwarah salah satu tempat tertinggi di kota itu. Dengan pandangan penuh haru, beliau menatap tanah kelahirannya, lalu bersabda dengan suara yang penuh perasaan:

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ. (رواه الترمذي)

“Demi Allah, engkau (wahai Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah dan yang paling dicintai oleh Allah. Seandainya aku tidak dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak akan keluar darimu.” (HR. Tirmidzi)

Dari ungkapan itu kita belajar, bahwa mencintai tanah air adalah naluri fitrah manusia yang luhur, dan bagi orang beriman, cinta itu menjadi ibadah. Karena di sanalah kita lahir, tumbuh, dan berjuang.

Dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim ‘alaihiss alām pun berdoa agar negerinya menjadi tempat yang aman dan diberkahi:

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا

Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman.” (QS. Al-Baqarah: 126)

Doa itu adalah bentuk nyata dari cinta tanah air: mengharap keamanan, kedamaian, dan keberkahan bagi negeri tempat tinggal. Maka, ketika seorang muslim bekerja dengan jujur, belajar dengan sungguh-sungguh, berjuang menolak korupsi, atau menolong sesama tanpa pamrih itu semua adalah wujud iman dalam bentuk pengabdian sosial.

Para pahlawan bangsa telah menunjukkan bahwa cinta tanah air menuntut keberanian dan pengorbanan. Mereka berjuang bukan untuk popularitas, tapi untuk kehormatan bangsa.

Kini, tugas kita bukan lagi mengangkat senjata, tetapi melanjutkan perjuangan mereka dengan karya, kejujuran, dan tanggung jawab. Cinta tanah air berarti: tidak menyebarkan kebencian dan hoaks, menjaga lingkungan dari kerusakan, menegakkan keadilan dan kejujuran, menghormati perbedaan dan persaudaraan.

Agama dan negara bukan dua hal yang bertentangan. Keduanya saling menguatkan. Agama menuntun arah, sementara tanah air memberi ruang untuk mengamalkannya. Imam al-Ghazali, dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 1, hlm. 33, menulis sebuah kalimat yang sarat makna:

وَالـمُلْكُ وَالدِّينُ تَوْأَمَانِ فَالدِّينُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُومٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ.

Negara dan agama ibarat dua saudara kembar. Agama menjadi fondasi yang menegakkan, sementara Negara adalah penjaga yang melindunginya. Sesuatu yang tak punya dasar pasti akan runtuh, dan sesuatu yang tak memiliki penjaga akan lenyap tanpa bekas.

Sayyidina Umar r.a. juga pernah berkata, “Seandainya tidak ada rasa cinta kepada tanah air, niscaya negeri-negeri yang buruk pun akan hancur. Namun karena cinta kepada tanah air, berbagai negeri bisa berdiri dan makmur.”

Kalimat bijak itu adalah cermin dari kenyataan hidup. Cinta tanah air bukan sekadar perasaan, melainkan kekuatan moral dan sosial yang menggerakkan manusia untuk berbuat. Tanpa cinta, tidak ada pengorbanan; tanpa rasa memiliki, tidak ada kepedulian. Negeri bukan hancur karena miskin sumber daya, melainkan karena hilangnya cinta di hati warganya.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menegaskan bahwa membela tanah air hukumnya fardhu ‘ain ketika negeri diserang penjajah. Itulah wujud cinta tanah air yang berpadu dengan iman  berjuang untuk negeri, beramal untuk agama.

Ungkapan “Hubbul Wathan Minal Iman” memang bukan hadits, tetapi maknanya dalam, iman yang sejati selalu menumbuhkan kepedulian terhadap negeri. Bagaimana mungkin seseorang mengaku beriman sementara ia acuh terhadap kemiskinan, kebodohan, atau ketidakadilan di sekitarnya?

Cinta tanah air yang sejati adalah iman yang hidup dan bergerak yang mendorong kita untuk memperbaiki, mengabdi, dan menebar manfaat bagi sesama.

Hari Pahlawan bukan sekadar momen untuk mengenang, tapi untuk meneladani. Mari kita buktikan cinta kepada Indonesia dengan amal nyata, kejujuran bekerja, ketulusan mengajar, kepedulian sosial, dan doa-doa terbaik bagi negeri ini.

Bagi pelajar, cinta tanah air berarti belajar dengan sungguh-sungguh, menghormati guru, menghargai teman, dan menjaga lingkungan dengan baik. Setiap lembar buku yang dibaca, setiap tugas yang diselesaikan dengan niat ikhlas, adalah bentuk kecil dari perjuangan melawan kebodohan dan kemalasan. Menjadi pelajar yang disiplin, berakhlak, dan berprestasi adalah cara terbaik untuk meneruskan semangat para pahlawan.

Mari, di Hari Pahlawan ini, kita buktikan cinta kita kepada Indonesia dengan belajar yang rajin, bekerja yang jujur, mengajar dengan ikhlas, dan berbuat kebaikan di manapun berada. Sebab cinta tanah air yang sejati bukan hanya diucapkan, tapi dihidupkan. Dan sesungguhnya, cinta tanah air adalah iman yang bergerak  dari hati, ke amal, menuju kemuliaan bangsa.

Mari kita buktikan cinta kepada Indonesia dengan amal nyata belajar sungguh-sungguh, menghargai perbedaan, dan berbuat kebaikan sekecil apa pun. Sebab cinta tanah air bukan slogan yang diucap, melainkan pengabdian yang dihidupkan.

 


Penulis

 

Saefudin, M.Pd

(Guru Ushul Fiqh MA NU Miftahul Falah)

Posting Komentar

0 Komentar